Akibatnya, persepsi negatif terhadap warga Papua, menurut mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai, menguat dalam beberapa tahun terakhir ini.
Politisasi perbedaan
Pada hakikatnya sifat manusia atau suatu norma budaya tidaklah menentukan etika, sebagaimana yang disampaikan oleh antropolog asal Amerika Serikat Webb Keane.
Secara alami, dalam kehidupan kita sehari-hari, ada dorongan untuk memperlakukan orang lain secara setara dan etis, sebab kita pun menyadari ingin diperlakukan seperti itu.
Lantas, mengapa rasisme yang berujung kekerasan ini bisa muncul?
Segala gagasan rasisme dan segala bentuk sentimen kebencian seringkali adalah hasil dari politisasi atas perbedaan itu sendiri.
Riset Ivana Macek, antropolog Kroasia, dalam buku etnografi Sarajevo Under Siege melihat menguatnya persoalan etno-nasionalis di Bosnia – yang sebelumnya hidup bersama dengan damai – ketika Yugoslavia runtuh, adalah tidak lain akibat politisasi perbedaan.
Politikus di sana menjadikan perbedaan etnis-agama sebagai komoditas politik dan memaksa publik untuk membenci orang lain yang identitasnya berbeda.
Bagaimana di Indonesia? Perlu sekiranya kita – publik Indonesia, merenungkan, apakah kita benar-benar meyakini kebhinnekaan.
Apakah kebhinnekaan sudah tercermin dalam perilaku kehidupan kita sehari-hari, ataukah kita dirasuki oleh suatu kepentingan politis?
Bangsa ini banyak merekam banyak kasus perbedaan yang dipolitisasi, mulai dari soal stigma atas komunis, pelaku kriminal , hingga penganut keyakinan minoritas dan orientasi seksual.
Dalam kasus-kasus itu pemerintah berperan menjadi aktor utama atas terjadinya politisasi perbedaan lewat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.
Masalahnya, keterlibatan pemerintah tidak saja berpengaruh pada masalah, tapi dapat mengubah persepsi publik. Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah menghentikan produksi ketakutan atas perbedaan dalam segala rupa atributnya.
Tidakkah kita sebaiknya meneladani orang Koroway yang secara alami dan dalam kesehariannya tidak melihat perbedaan sebagai masalah?
Penulis: Irfan Nugraha, Associate researcher, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.