Perlombaan Panjat Pinang Berakar dari Tradisi Pecinan Nusantara

By Agni Malagina, Kamis, 29 Agustus 2019 | 18:47 WIB
Sembahyang Rebutan atau Cioko di Klenteng Hok An Kiong sekitar 1900. (KITLV)

Tontonan panjat pinang mampu menghadirkan gemuruh tawa dan keriaan semesta tatkala si pemanjat yang sudah berada di ketinggian tiba-tiba melorot—demikian juga kolornya.

Nama perayaannya adalah Qianqu atau ‘grebeg arwah gentayangan’. Mereka merayakannya setiap tahun pada tanggal 15 bulan ke tujuh dalam kalender Cina. Perayaan itu dikenal juga dengan ‘bulan arwah’ atau ‘gui yue’ atau dalam perayaan umat Taois disebut juga zhongyuan. Biasanya bertepatan pada pertengahan Agustus atau awal September.

Dalam agama Buddha, upacara ritual ini dikenal juga dengan nama Ulambana, di Jepang dikenal dengan nama Obon. Sementara di Indonesia, upacara ini disebut (Sembahyang Rebutan) Cioko.Boleh dikata, inilah perayaan Halloween ala pecinan.

Menurut Stephen F.Teiser dalam bukunya The Ghost Festival in Medieval China, perayaan bulan arwah, yang  sejatinya berasal dari India, dilaksanakan besar-besaran pada masa Dinasti Tang (618-907) dan dilanggengkan hingga masa dinasti-dinasti berikutnya. Namun catatan resmi pertama mengenai upacara ini muncul pada masa Dinasti Ming pada 1368, masa kepemimpinan Kaisar Hong Wu.

Seiring dengan migrasi orang Cina, perayaan itu pun tersebar di seantero Asia Timur sampai Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Menurut Nio Joe Lan dalam bukunya Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, perayaan Cioko pada awal abad ke-20 sangat ramai, bahkan “rebutan” sampai menyebabkan perkelahian besar. Pun di Singapura, sembahyang Cioko akhirnya dihapuskan pada 1906 akibat perkelahian dan menyebabkan banyak kerugian.

Baca juga: Nyah Kiok dan Tujuh Bidadari Lasem, Kisah Batik Tiga Negeri Pantura

Sembahyang Rebutan atau Cioko di muka Klenteng Hok An Kiong, sekitar 1920-an. (KITLV)

Perayaan Cioko mempunyai makna untuk memberikan persembahan kepada para arwah yang tengah berkunjung ke Bumi ketika pintu neraka dan pintu surga dibuka. Mereka, para arwah, dapat mengunjungi sanak keluarga, semacam jembatan antara dunia manusia dan dunia arwah, menautkan dunia profan dan dunia sakral.