Nationalgeographic.co.id - Lasem, Kota Santri di Kabupaten Rembang. Tak ada yang dapat menyangkal. Salah satu kota tua di Nusantara dengan sejarah panjangnya dan kebudayaan berlapis (Jawa, Hindu, Budha, Arab, Cina, Eropa) ini merupakan basis penyebaran Islam di Jawa. Lasem juga merupakan kota tempat ulama serta tokoh-tokoh mahsyur berasal seperti Mbah Sambu (Sayyid Abdurrohman), Mbah Baidlowi, Mbah Srimpet (R.M. Tejokusumo I) dan lainnya. Nama besar Sunan Bonang juga menjadi ikon di Lasem dengan adanya situs Pasujudan Sunan Bonang dan Makam Putri Cempo serta Masjid Sunan Bonang. Selain itu, Masjid Jami Lasem merupakan salah satu masjid potensial cagar budaya yang dibangun pada tahun 1588 oleh Adipati Tejokusumo I. Bangunan ini memiliki Mustaka (cungkup) Masjid yang terbuat dari terakota bermotif salah satu dewa dalam agama Hindu dan ragam hias lainnya, saat ini disimpan di Perpustakaan Masjid Jami Lasem.
Kota yang dikenal sebagai Kota Batik dan Tiongkok Kecil sejak awal abad 20 seperti yang terdapat dalam berbagai sumber seperti yang ditulis oleh C.T.H Van Deventer (Overzicht van den Economischen toestand der Inlandsche Bevolking Java en Madorea, 1904, Kota Batik), De KAT Angelino (Batikrapport, 1930, Kota Batik), Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa (1944, Tiongkok Kecil), Claudine Salmon (Chinese Ephigraphic Materials in Indonesia, 1988, Tiongkok Kecil) ini memiliki beberapa pondok yang sudah berabad lamanya berdiri di Lasem, mulai dari Pesantren Puri Kawak (tilas pondoknya telah berganti nama), An Nurriyah, Al Hidayat dan masih banyak lagi.
Pemandangan sehari-hari, kiai dan santri tak terkecuali bergiat di pondoknya dan lingkungan sekitar dengan semangat tenggang rasa yang tinggi, saling menghargai dan menghormati sesama penduduk. Kepada pendatang atau pejalan (sering disebut wisatawan) biasa, masyarakat pondok pesantren sangat terbuka dan menyambut hangat.
Baca juga: Nyah Kiok dan Tujuh Bidadari Lasem, Kisah Batik Tiga Negeri Pantura
Tahun 2018 lalu merupakan tahun tepat satu abad Pondok Pesantren Al Hidayat. Salah satu pondok pesantren tertua di Lasem yang didirikan oleh Mbah Ma'shoem mulai tahun 1916 namun resmi beroperasi sebagai pondok pesantren pada tahun 1918. Gaung satu abad Al Hidayat membawa semangat toleransi dari Lasem untuk Indonesia.
Saya dan Kusumaningdyah N.H., pengajar Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta beberapa mahasiswanya mengikuti kegiatan komunitas yang diberi judul Hikayat Toleransi. Kusumaningdyah juga kepala Urban Rural Design and Conservation Laboratorium (URDC Labo) di universitasnya yang bergiat meneliti tentang Rumah Batik sebagai Home Based Industries Kluster Pecinan (salah satu kawasan yang ia sebut 'Kampung Pusaka Lasem') di Lasem hampir selama empat tahun belakangan. Sebuah perjalanan bersama para cucu buyut Mbah Ma'shoem yang memperkenalkan nilai-nilai ajaran Mbah Ma'shoem dan perkembangan Islam di Lasem dengan cara yang menyenangkan bagi orang awam dan berbeda religi.
Selain bersama mahasiswa UNS, Kusumaningdyah hari itu datang juga bersama empat mahasiswa dari Universitas Rotterdam Belanda Martijn Hereijgers, Timon Jurisic, Charlote Ross, dan Julia Van Der Leer. Keempat mahasiswa asing ini tampak antusias mengikuti perjalanan dengan rute Pondok Pesantren Al Hidayat, Masjid Jami Lasem, Kampung Kauman dan Pondok Pesantren Kauman yang ditemani oleh Dzurriyyah (keturunan) Al Hidayat Shahnaz Nabila (28) dan Baidowi Joyotirto (24) atau yang akrab dipanggil Ning Bela dan Gus Dowi.
Kami duduk di ruang Rumah Kasepuhan Al Hidayat. Disambut hangat oleh Gus Affan (Affan Martadi) dan istri beliau, Nyai Hj Maria Ulfa – cucu Mbah Ma’shoem. Banyak hal yang disampaikan Gus Affan mengenai asal mula pondok yang dibangun oleh salah satu pendiri Nahdatul Ulama tersebut. Menurut Gus Affan dan Nyai Maria Ulfa, asal mula Mbah Ma’shoem membangun pondok karena Mbah Mashoem bermimpi dikunjungi Rasulullah sebanyak tujuh kali dengan pesan “kamu segera mengajar.”
Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang BudayaJilid 2, menuliskan bahwa Mbah Ma’shoem yang memiliki nama muda Muhammadun belajar mengaji dari ayahandanya Kiai Haji Achmad Abdulkarim. Muhammadun muda mengembara mondokdi beberapa tempat yaitu Pondok Mlonggo (dekat Jepara), Pondok Sarang (Kragan), Pondok Kajen (di sebelah timur Gunung Muria) Pondok Jamsaren di dekat Solo, dan pondok di Bangkalan Madura yang dipimpin oleh Kiai Cholil. Selesai mondok, Muhammadun muda kembali ke Lasem dan menikah, memiliki 13 orang anak. Pendamping beliau dikenal dengan nama Mbah Nuriyah.
Muhammadun kemudian berniaga sesekali memberi pelajaran di beberapa pondok pesantren. Suatu malam di Tebu Ireng, Muhammadun muda bermimpi dikunjungi Nabi Muhammad yang memerintahkannya untuk menghentikan perniagaan dan mengajar. Maka, beliau segera kembali ke Lasem. Demikian juga hal yang dikisahkan dalam Manaqib Mbah Ma’shoem yang terbit pada tahun 1972, tahun yang sama ketika Mbah Ma’shoem wafat. Putra-putri dan cucu-cucu beliau pun menjadi tokoh-tokoh Islam ternama di Pulau Jawa.
Baca juga: Mereka yang Tak Pernah Lelah Mempertahankan Batik Tiga Negeri Lasem
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR