Selisih Shih-Li-Fo-Shih: Teka-teki Sriwijaya yang Tak Berkesudahan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 30 Agustus 2019 | 11:53 WIB
Usai hujan lebat, malam mulai melingkupi Candi Tinggi di percandian Muarojambi. Kompleks ini diduga dibangun secara bertahap, sejak masa sebelum dan selama masa Sriwijaya. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Lokasi kedua adalah kompleks Muarajambi. Namun, pengamatan astronomis di situs ini dilakukan tepat pada saat matahari di atas Muarajambi, yaitu pada tanggal 1 bulan kesembilan dalam kalender Cina (27 September 2011). The SOMT mengirimkan laporannya lewat surel—baik teks maupun visual—kepada Hudaya. “Telah terjadi bahwa bayangan dari pipa paralon yang digunakan sebagai pengukur, hilang bayangannya,” demikian tulis The SOMT.

Arca Buddha di Wat Kaeo, Thailand, satu dari tiga candi yang dibangun berdasarkan titah dari raja Sriwijaya. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Hudaya membalas surel mereka, “Ini semakin mendekatkan kita pada kesimpulan bahwa Muarajambi adalah lokasi I-Tsing tinggal.” Kemudian saya berdiskusi dengan Hudaya tentang temuan mereka lewat surel. Saya melayangkan kepadanya sebuah pernyataan bahwa “ketiadaan bayangan di Muarajambi yang terjadi setelah pertengahan bulan kedelapan merupakan suatu kenampakan berbeda dari catatan I-Tsing.”

“Kekeliruan muncul dalam banyak tulisan cendekiawan sebelum ini yang menyinggung soal pengamatan astronomis I-Tsing,” balas Hudaya mengoreksi pendapat saya. Menurutnya terdapat aspek astronomis dalam catatan pendeta Buddha itu yang tidak disimak semestinya. “Peristiwa yang dialami I-Tsing bersifat khas.”

Artinya, pertengahan bulan kedelapan (atau bulan kedua) penanggalan Cina yang bersamaan dengan zenit di belahan Bumi selatan tidak terjadi setiap tahun, ungkapnya. “Saat yang khas itu terjadi pada tahun 690, pada masa I-Tsing menulis catatannya.”

Suplemen National Geographic Indonesia edisi Oktober 2013. Hampir selama satu milenium, suatu kekuatan besar yang pernah mengendalikan rute perdagangan penting tercabut dari kenangan sejarah. Terlupakan. Barulah pada 1918 kata 'Sriwijaya' diidentifikasi kembali sebagai nama suatu kerajaan. (Seni: Freddy Susanto/National Geographic Indonesia)

Peristiwa langka itulah yang dibuktikan Hudaya dengan menghitung ulang kejadian astronomis dan periode penulisan I-Tsing. “Ini merupakan hasil terpenting dari pembuktian matematis cum astronomis terkait pengamatan dan catatan I-Tsing,” ungkapnya. “Pembuktian ini sekaligus mengeliminasi Muara Takus maupun Palembang sebagai calon lokasi kediaman I-Tsing.”

Namun demikian, Hudaya menambahkan bahwa pengamatannya masih belum sempurna. Dia juga masih berencana untuk membandingkan pengamatan serupa di Bukit Siguntang, sebuah situs lain yang diduga menjadi pusat keagaamaan pada masa Sriwijaya awal di Palembang. “Saya sendiri belum sempat merampungkan tulisan lengkap mengenai topik ini,” ungkapnya.     

Jika Hudaya mencari lokasi I-Tsing bermukim dengan menentukan situs arkeologis kemudian baru mencocokkannya dengan tinggi dan posisi matahari dalam catatan pendeta itu, Eadhiey Laksito Hapsoro melakukan hal sebaliknya.

Pengurus kuil Banteay Prei Nokor, Kamboja, Kompong Cham, wilayah Chenla yang pernah terkait Sriwijaya-Sailendra. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Suatu malam di Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Saya menemui Eadhiey, seorang astro-arkeolog,  yang pernah melakukan penghitungan astronomis berdasarkan tinggi dan posisi matahari untuk mencari tempat tinggal I-Tsing. Penelitian tersebut pernah dipaparkan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi 1989. Dia berpedoman pada sepuluh hari pertengahan bulan kedelapan kalender Cina dan posisi deklinasi matahari pada 671 sampai dengan 695.

Eadhiey mendapat dua simpulan. Pertama, lewat pendekatan titik balik matahari (solstice), lokasi I-Tsing diduga di sekitar Upang Sungsang di utara Palembang. Kedua, jika menggunakan metode pendekatan musim (posisi matahari terhadap khatulistiwa), Eadhiey memperoleh lokasi di sekitar Kuala Tungkal, kota kecil di muara Sungai Pangabuan, Jambi.