Selisih Shih-Li-Fo-Shih: Teka-teki Sriwijaya yang Tak Berkesudahan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 30 Agustus 2019 | 11:53 WIB
Usai hujan lebat, malam mulai melingkupi Candi Tinggi di percandian Muarojambi. Kompleks ini diduga dibangun secara bertahap, sejak masa sebelum dan selama masa Sriwijaya. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id— "Di negeri Shihlifoshih, kita melihat bahwa bayang-bayang welacakra [jam matahari] tidak menjadi panjang, atau menjadi pendek pada pertengahan bulan delapan,” demikian tulis I-Tsing dalam catatannya.

“Pada tengah hari, tak tampak bayang-bayang orang yang berdiri di bawah matahari.” I-Tsing pun menunjukkan letak Shihlifoshih berada di garis lintang yang sama dengan posisi matahari saat itu. “Matahari tepat di atas kepala dua kali satu tahun. Kalau matahari di sebelah selatan, bayang-bayang membujur ke utara; panjangnya lebih kurang dua atau tiga ch’ih. Kalau matahari di sebelah utara, bayang-bayangnya sama, tetapi jatuh ke selatan.”

I-Tsing merupakan pendeta Buddha asal Cina. Dia singgah ke Shihlifoshih antara 671 dan 695, diselingi perjalanan ke India dan bermukim di Nalanda sekitar 672 hingga 685. Dia diperkirakan menulis kisahnya pada periode 690 hingga 692.

Di manakah Shihlifoshih itu? Persoalannya, kabar dari Cina tentang toponimi di lautan sebelah selatan kadang membingung ahli sejarah. Pasalnya, nama tempat dicatat dalam bahasa Cina berdasar indra pendengaran sang penulis, dan penentuan lokasinya berdasarkan jam matahari.

Baca juga: Kota Cina, Bandar Penting Ketika Sriwijaya Surut. Di Manakah Itu?

Impresi seniman tentang sosok pendeta Buddha asal Tiongkok, I-Tsing, yang singgah dan bermukim di Sriwijaya pada abad ketujuh. (Sandy Solihin/National Geographic Indonesia)

Baru pada awal abad ke-20, atau sekitar 1.200 tahun setelah I-Tsing selesai mencatat perjalanannya, secuil misteri terpecahkan. Shihlifoshih diduga kuat berkaitan dengan lokasi sebuah negeri bernama Sriwijaya. Per­debatan panjang di mana lokasi Sriwijaya telah mengerucut pada tiga kawasan di sekitar khatulistiwa Sumatra, yang juga diduga sebagai tempat bermukim I-Tsing.

Ketiga kawasan tersebut adalah Bukit Siguntang di Palembang, Candi Muarajambi di Jambi, dan  Candi Muara Takus di Riau. Jika tempat tinggal I-Tsing di Shihlifoshih dapat diketahui, tersingkaplah teka-teki lokasi Ibu Kota Sriwijaya. “Upaya saya mengulangi pengamatan astronomis I-Tsing berhubungan erat dengan upaya mengidentifikasi lokasi I-Tsing berdiam,” tulis Hudaya Kandahjaya dalam surelnya kepada The Society of Muarojambi Temple (The SOMT) pada pertengahan 2011.

Hudaya merupakan peneliti di Numata Center yang berkantor tak jauh dari University of Berkeley, California, Amerika Serikat. Lembaga tersebut berkiprah dalam penelitian dan alih bahasa naskah Buddha dalam kitab Tripitaka. Dia sendiri lahir dan besar di Bogor, Jawa Barat. Sementara, The SOMT adalah komunitas peduli terhadap kelestarian Candi Muarajambi, yang dimotori secara swadaya oleh warga sekitar situs warisan leluhur Sumatra itu.

Tujuh kepala ular kobra memayungi prasasti persumpahan Telaga Batu. Banyak pangkat, profesi dan jabatan dalam Kedatuan Sriwijaya disebutkan dalam isi prasasti. Mereka disumpah agar selalu setia. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Saat kunjungan pertamanya ke Muarajambi, Hudaya terkesan atas melimpahnya temuan arkeologis seluas hampir tiga ribu hektare tersebut, ketimbang temuan di Riau dan Palembang. Kenyataan ini mendorongnya untuk menghubungkan dengan tempat I-Tsing bermukim. Namun, dia tak berpuas diri hanya dengan kesimpulan itu.

Hudaya memprakarsai rekonstruksi peng­amatan astronomis dengan bantuan tenaga pengamat lapangan dari The SOMT. Pengamatan pertama berlokasi di kompleks Muara Takus yang dilakukan tengah hari pada tanggal 15 bulan kedelapan kalender Cina (12 September 2011)—waktu yang tepat seperti kisah I-Tsing. Hasilnya, mereka masih menjumpai bayangan walaupun lokasinya paling dekat dengan khatulistiwa.