Nationalgeographic.co.id - Sisi peta dalam poster National Geographic Indonesia edisi Oktober 2013 memberikan berbagai informasi seputar kawasan dalam pengaruh Sriwijaya abad ke-7 hingga abad ke-11. Dalam peta tersebut, ditunjukkan pula sebuah pelabuhan dengan toponimi “Kota Cina”, yang kini hanyalah sebuah kota kecil di pantai timur Sumatra Utara.
Lebih dari 35 tahun silam, Edmund Edwards McKinnon mengungkapkan serangkaian jejak arkeologis di kawasan pesisir timur Sumatra Utara.
“Kota Cina sangat kaya akan peninggalan arkeologis,” tulis McKinnon dalam Archipel Volume 14 yang terbit pada 1977. “Meskipun tersebar, hampir seluruhnya telah teraba.” Dia menyimpulkan berbagai hasil penggalian dan kajian lapangan selama empat tahun di Kota Cina, Sumatra Utara.
Menurutnya, kawasan padat temuan arkeologis di Kota Cina kira-kira seluas 25 hektare, dan daerah yang diduga situs paling penting masih perlu diinvestigasi oleh ahli arkeologi. Di daerah tersebut juga pernah ditemukan dua arca Buddha pada 1943 dan 1964.
Kedua arca tersebut tampaknya berasal dari abad ke-11 sampai abad ke-12. Selain arca, ditemukan juga aneka keramik Cina. Dia juga mengungkapkan temuan beberapa keping koin kuno yang berasal dari Cina abad ke-4 hingga abad ke-11, dan sekeping koin abad ke-13 asal Kerajaan Kandy, Srilangka.
Dia menduga Kota Cina merupakan pusat perdagangan pertama yang dapat diidentifikasi di pantai timur Sumatera Utara. Seperti situs-situs lain di sepanjang pantai timur Sumatra, kawasan ini juga merupakan tempat pedagang menjalin kontak dengan masyarakat setempat untuk pertukaran barang.
McKinnon meyakini bahwa setidaknya situs ini digunakan sebagai tempat perdagangan ramai sejak periode Wangsa Song Selatan (1127-1268), bahkan bisa jadi periode yang lebih awal lagi. Kemudian kawasan perdagangan itu berlanjut pada masa Wangsa Yuan (1271-1368), sebuah dinasti yang didirikan oleh Kublai Khan—cucu dari Jenghis Khan sang pendiri kekaisaran terbesar dalam sejarah dunia.
Barang-barang berkualitas dari Cina yang dibawa ke Sumatra tidak hanya digunakan untuk para pemukim Cina di pesisir Kota Cina, tetapi juga meluas dan digunakan warga pedalaman, demikian hemat McKinnon.
Dalam hubungannya dengan temuan keramik di Kota Cina, McKinnon cenderung menekankan bahwa situs itu pernah dihuni oleh pemukim asal Cina. Di tempat itu juga, dia menambahkan, setidaknya terdapat sekumpulan pemukim Hindu dan Buddha yang berasal dari India atau Singhala.
Selain aneka temuan tadi, McKinnon juga mengungkapkan temuan tembikar berpola tulang ikan. Pola seperti itu muncul juga di situs Asia Tenggara lainnya. Dia lalu menunjuk sebuah desa industri keramik kecil di Kampung Sentang dekat Tanjung Tiram di daerah Batubara. Sekitar 1970-an, menurutnya, desa tersebut masih menghasilkan wadah-wadah tembikar dengan bahan tidak berbeda dengan temuan di Kota Cina.
Dia berkesimpulan, penduduk Kota Cina pada awal milenium kedua tampaknya sekosmopolitan dengan Kota Medan masa sekarang. Warga keturunan Cina dan India hidup berdampingan dengan warga setempat.
Catatan sejarah menunjukkan fakta bahwa barang-barang asal Cina diangkut juga oleh kapal-kapal Arab dan India, dan Nusantara. “Jadi kita tidak perlu heran dengan temuan tersebut,” ungkap McKinnon dalam jurnal, “bahwa pelabuhan Sumatra juga memiliki sejumlah pemukim India, Arab, dan Cina yang terlibat dalam perdagangan Timur-Barat kala itu.”
Dia berharap bahwa catatan penelitiannya kelak menimbulkan minat yang lebih besar dalam arkeologi sebuah pulau yang telah lama menjadi tempat pertemuan pengaruh Timur dan Barat tersebut.
Sekitar 33 tahun setelah McKinnon menulis temuannya tentang Kota Cina, saya bertemu dengannya di sebuah diskusi malam di Erasmushuis. Tampaknya sampai hari ini pria berkebangsaan Amerika itu masih gandrung dengan misteri Sumatra.
“Saya saat ini menjadi peneliti di Nalanda Sriwijaya Centre di ISEAS—Lembaga Kajian Asia Tenggara,” ujarnya pada malam itu. “Saya tinggal di Bogor, silakan mampir untuk berdiskusi.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR