Nationalgeographic.co.id - Tahukah Anda bahwa sabut kelapa bisa dimanfaatkan sebagai pelindung pesisir pantai dari erosi dan abrasi air laut?
Daerah pesisir di Indonesia, yang juga menjadi tempat kegiatan ekonomi dan pemukiman warga, kini berada di kondisi kritis.
Tidak hanya akibat aktivitas manusia, seperti pembabatan hutan bakau, penambangan pasir, hingga pembangunan infrastruktur namun juga akibat dari perubahan iklim.
Perubahan iklim dapat mempengaruhi daerah pesisir hingga menghadapi berbagai masalah, mulai dari naiknya permukaan air laut, suhu laut, hingga menimbulkan gas emisi rumah kaca. Ditambah lagi, erosi di daerah pesisir, banjir, hingga polusi air.
Oleh karena itu, perlindungan daerah pesisir seharusnya menjadi salah satu prioritas mitigasi perubahan iklim.
Umumnya, perlindungan daerah pesisir dari erosi menggunakan struktur material yang keras (hard structure), seperti tanggul laut yang terbuat dari beton, pemecah gelombang, groin (bangunan yang dibangun menjorok ke arah laut), jetty (jalanan yang dibuat mengarah ke laut), dan lainnya.
Namun, material alami seperti terumbu karang, hutan bakau, atau rumput laut juga dapat melindungi daerah pantai dari gelombang tinggi, atau disebut sebagai soft structure yaitu struktur material yang lunak/dari bahan alam.
Tanggul laut yang terbuat dari material yang keras masih terlalu mahal bagi penduduk setempat dan pemerintah daerah masih belum memprioritaskan dana mereka untuk pembangunan ini.
Oleh karena itu, kami – saya dan lima rekan kerja saya di Program Study Oseanografi,Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung – memodifikasi sabut kelapa untuk menjadi bahan alternatif untuk tembok laut. Modifikasi ini terinspirasi oleh cara penyelamatan pesisir pantai yang dilakukan di daerah pesisir di Amerika Serikat.
Proyek pertama kami bermula di desa Karangjaladri, kabupaten Pangandaran, sekitar 6 jam perjalanan dari kota Bandung, ibukota provinsi Jawa Barat.
Desa Karangjaladri berada di dekat pantai, namun tidak memiliki perlindungan di pesisir ketika kami datang pada tahun 2017. Padahal, area tersebut rentan terhadap abrasi karena gelombang laut yang tinggi dari Samudera Hindia.
Tahun 2018, kami kembali dan mengajak warga sekitar untuk membangun tanggul laut yang terbuat dari sabut kelapa, material yang murah dan dapat terurai, yang banyak ditemukan di daerah tersebut.