Dianggap Buruk, Sifat Pesimisme Ternyata Juga Memberikan Manfaat

By National Geographic Indonesia, Rabu, 11 September 2019 | 15:27 WIB
(kieferpix/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Seberapa sering Anda mendengar “selama kita yakin akan sesuatu maka suatu saat hal itu akan terjadi”? Mulai dari buku-buku psikologi sampai seminar pengembangan diri dan berbagai blog, banyak yang membicarakan manfaat berpikir positif.

Tentu, ada beberapa bukti yang menunjukkan hal itu. Sebuah penelitian menyatakan bahwa kita dapat menuai hasil positif, termasuk kesehatan dan kesejahteraan, dengan bersikap optimis.

Namun, bagaimana dengan orang-orang yang cenderung pesimistis? Apakah menjadi pesimistis itu selalu buruk? Penelitian terbaru menemukan bahwa beberapa bentuk pesimisme ternyata bermanfaat.

Baca Juga: Berbuat Baik Benar-Benar Membuat Kita Bahagia, Ini Alasan di Baliknya

Pesimisme bukan hanya sekadar berpikir negatif. Ilmu kepribadian telah mengungkapkan bahwa pesimisme juga mencakup sikap berfokus pada tujuan -– sesuatu yang diperkirakan akan terjadi di kemudian hari.

Bedanya, orang yang optimistis banyak berharap mendapat hasil positif, orang yang pesimistis justru menduga hasil negatif cenderung akan terjadi.

Ada tipe-tipe pesimisme tertentu, seperti “pesimis defensif” yang menggunakan pikiran negatif dengan cara yang sangat berbeda dan justru untuk mencapai tujuan-tujuan mereka.

Penelitian telah menunjukkan bahwa cara berpikir seperti ini tidak hanya membantu dalam meraih kesuksesan, tapi juga memberikan manfaat-manfaat yang tak terduga.

Akan tetapi ada tipe-tipe lain pesimisme, termasuk di dalamnya menyalahkan diri sendiri karena hasil buruk, yang memiliki lebih sedikit dampak positif.

Kinerja dan kepercayaan diri

Namun, bagaimana sebenarnya cara kerja pesimis defensif dan apa saja manfaat yang bisa didapat? Para peneliti menyatakan bahwa sikap pesimisme defensif adalah sebuah strategi yang dapat membantu orang dengan kecemasan berlebih untuk mengelola kecemasannya, sehingga mereka tidak lari dari masalah dan berusaha meraih tujuan.

Faktor penting dalam pesimis defensif adalah menetapkan ekspektasi yang rendah untuk rencana dan situasi tertentu –- misalnya, tidak berharap diterima setelah selesai wawancara kerja –- kemudian membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Dengan ini, seorang dengan sikap pesimis defensif dapat merencanakan berbagai tindakan untuk memastikan kemungkinan buruk yang dibayangkan tidak akan terjadi –- misalnya, berlatih untuk wawancara kerja dan datang tepat waktu.

Manfaat dari sikap pesimis defensif juga berlanjut pada kinerja seseorang. Sebuah studi menunjukkan bahwa pesimis defensif berhubungan dengan suasana hati yang negatif.

Ketika ditempatkan dalam suasana hati yang baik, seorang yang pesimis defensif tidak mampu menyelesaikan sebuah teka-teki kata. Sementara, ketika mereka ditempatkan pada suasana hati yang negatif –- diberitahu kemungkinan buruk yang akan terjadi –- kinerja mereka menjadi jauh lebih baik.

Hal ini menunjukkan bahwa mereka menggunakan suasana hati yang negatif untuk memotivasi diri sendiri.

Pesimisme bisa jadi lebih menguntungkan dibanding optimisme dalam menunggu hasil atau kabar dari sesuatu yang berada di luar kuasa diri sendiri (seperti menunggu hasil dari wawancara kerja).

Ketika hasilnya tidak sebaik yang diperkirakan, seorang optimis akan terusik dan mengalami kekecewaan yang lebih besar serta suasana hati yang lebih kacau dibanding orang-orang pesimis.

Anehnya, bentuk pesimisme seperti ini dapat membantu kepercayaan diri.

Dalam sebuah studi yang meneliti mahasiswa selama masa perkuliahannya, mereka yang pesimis defensif merasa memiliki harga diri yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang memiliki kecemasan berlebih. Bahkan, ukuran harga diri mereka bisa sama tingginya dengan mereka yang optimis.

Mungkin hal ini bisa terjadi karena seorang pesimis defensif berhasil mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang mereka bayangkan.

Kesehatan

Strategi seorang pesimis defensif dalam mengantisipasi kemungkinan buruk juga berdampak baik pada kesehatan. Meski orang-orang seperti ini akan merasa cemas terkena penyakit saat ada wabah menular, tapi mereka juga cenderung untuk melakukan tindakan-tindakan preventif. Contohnya, mereka akan secara rutin mencuci tangan dan segera pergi ke dokter bila merasakan gejala aneh.

Ketika seorang pesimis terserang penyakit kronis, pandangan negatif terhadap masa depan akan lebih realistis dan mendorongnya untuk mengikuti saran ahli-ahli kesehatan yang menangani penyakitnya.

Saya melakukan penelitian terhadap dua kelompok orang -– orang dengan penyakit radang usus dan radang sendi. Saya meminta mereka untuk mengukur kesehatan mereka pada masa depan dengan skala sederhana, dari buruk ke sangat baik.

Kedua penyakit ini merupakan penyakit dengan masa pemulihan yang panjang, bahkan bisa memburuk dari waktu ke waktu. Sehingga kami tidak mengharapkan mereka akan berpikir kondisi kesehatannya akan cepat membaik.

Nyatanya, mereka yang optimis tetap menilai kesehatannya akan membaik pada masa depan, sementara mereka yang pesimis mengira kesehatannya akan semakin buruk.

Dengan pandangan seperti, seorang pesimis dapat melakukan berbagai cara yang diperlukan untuk mengatasi dan mengelola gejala lanjutan seperti rasa sakit. Namun, harus diakui bahwa hal ini baru bisa terwujud jika ada sedikit optimisme bahwa cara-cara tersebut bisa membantu.

Baca Juga: Buta Total Akibat Hantaman Serangan Udara Perang Saudara di Suriah, Bocah Ini Tetap Riang dan Ceria

Hal yang membedakan seorang pesimis defensif dan orang-orang yang berpikir secara negatif -– mereka yang cemas dan tertekan -– adalah cara mereka dalam mengatasi masalah.

Ketika banyak orang cenderung menghindari masalah saat mereka cemas dan tertekan, seorang pesimis defensif menggunakan pikiran negatif dalam mengambil setiap tindakan, sehinga mereka merasa siap dan memiliki kendali terhadap hasil.

Jadi, menjadi seorang pesimis tidak sepenuhnya buruk -– meski bisa jadi Anda menjengkelkan bagi orang lain. Pada akhirnya, apa yang Anda lakukan terhadap pesimisme itulah yang terpenting.

Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

Penulis: Fuschia Sirois, Reader in Health Psychology, University of Sheffield

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.