Riwayat Perayaan Kue Bulan: Dari Dewi Chang'e Sampai Gus Dur

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 14 September 2019 | 22:47 WIB
Festival Kue Bulan dirayakan setiap tanggal 15 bulan kedelapan kalender Cina. (Wikimedia Commons)

Kue Bulan Ny. Lauw Kim Wei yang sohor di Tangerang, yang memiliki beragam rasa: cokelat, cokelat keju, keju, duren, dan cempedak. (Kue Bulan Ny. Lauw Kim Wei)

Rezim pengekangan itu perlahan-lahan runtuh setelah Era Reformasi 1998. Presiden Abdurrachman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, membuka kebebasan beragama bagi warga Cina. Bahkan, ia meresmikan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur fakultatif—kini hari libur nasional.

"Gus Dur," kata Agni, "saya kira menjadi bagian penting dalam keberlanjutan ekspresi budaya etnis Cina di Indonesia. Dalam hal ini peran Gus Dur merawat keberagaman, solidaritas, dan toleransi antar etnis di Indonesia menjadi signifikan." Dia menambahkan, "Gus Dur tak hanya merangkul, namun memungkinkan produksi pengetahuan tentang budaya cina peranakan dan pengaruhnya dalam sejarah serta budaya Indonesia menjadi terbuka luas."

Kebebasan berekspresi dalam Perayaan Kue Bulan dan perayaan tradisional lainnya bukan sekadar usaha Gus Dur dalam membuka ruang berekspresi, tetapi juga mengalirkan pengetahuan budaya pada masyarakat indonesia yang heterogen. “Kue bulan sudah menembus batas identitas  karena siapa pun bisa menikmatinya. Identitas kue ini telah mengglobal sekaligus melokal,” pungkasnya.

Baca juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC