Pagerwesi bisa diartikan sebagai ritual “pagar besi”. Pengabdian kepada Sang Hyang Pramesti Guru, yang dianggap sebagai raja dari alam semesta, di tengah keberadaaan masyarakat Hindu yang selalu berdoa melawan putus asa dan rintangan-rintangan hidup.
Dipimpin oleh pendeta, upacara ini dimulai dengan iring-iringan pembawa air suci dan pembawa seserahan yang berasal dari pura Giri Saloka di depan pantai Triangulasi. Setelah selesai berdoa di sana, seserahan tersebut dilemparkan ke Samudra Hindia.
Air suci yang digunakan di dalam upacara ini diambil dari tujuh mata air yang terletak di tengah hutan pesisir.
Baca Juga: Pesta Kesenian Bali, Budaya Mengikat Perbedaan dan Memikat Wisatawan
Ragam ritual tersebut, tidak terlepas dari landasan budaya Jawa yang sudah melebur di keseharian masyarakat Banyuwangi.
Pada bulan September setiap tahunnya, biasa dilaksanakan upacara Ruwatan atau juga bisa disebut sebagai Nyadran. Upacara ini dilaksanakan oleh masyarakat Banyuwangi untuk menghindari bencana yang ditimbulkan oleh Batara Kala, yang membalas dendam kepada anak-anak Sukerto.
Baca Juga: Jalur Pendakian Rinjani Batal Dipisah, Wisata Halal Masih Terus Mencari Bentuknya
Ruwatan dimulai dengan pertunjukkan wayang kulit. Nilai lain dari upacara ini adalah sebagai persembahan rasa hormat kepada orang tua, dan dianggap sebagai pencerahan diri.
Sebagai puncaknya, akan ada ritual pemercikkan air dan pemotongan rambut, yang dilakukan oleh Juru Ruwat atau Dalang. Potongan rambut dan juga sesajian yang sudah disiapkan, nantinya akan dibuang ke tengah laut, sebagai pertanda menghindari sial.
Kekayaan budaya di Banyuwangi, ternyata juga diikuti oleh kekayaan alamnya. Tidak pernah ada yang menyangka, di Banyuwangi Anda bisa menemukan banyak sekali objek wisata, dari mulai pantai, kawah, agro wisata, teluk, perkebunan, air terjun, desa kriya, hingga perkampungan nelayan.
Lebih dari dua puluh titik destinasi yang sudah dipilah oleh Pemerintah Kabupaten, dan secara resmi dijadikan sebagai atraksi pariwisata Banyuwangi.