Studi: Tidak Berolahraga Selama Dua Minggu Bisa Merusak Kesehatan

By National Geographic Indonesia, Jumat, 1 November 2019 | 14:26 WIB
Olahraga mampu mencegah penuaan pada otak dan jantung, juga mencegah depresi. (nd3000/Getty Images/iStockphoto)

Kelompok partisipan kami berhasil mengurangi jumlah langkah mereka dari rata-rata sekitar 10.000 langkah per hari, dan akibatnya mengalami peningkatan waktu tidur rata-rata 103 menit per hari. Fungsi arteri menurun setelah periode tidak aktif selama dua minggu, tapi kembali ke tingkat normal setelah dua minggu mereka kembali mengikuti gaya hidup normal mereka.

Kami tertarik melihat bagaimana tingkat aktivitas mempengaruhi kesehatan pembuluh darah, karena di sinilah sebagian besar penyakit kardiovaskular dimulai. Sebagian besar dari kita tidak menyadari bahwa pembuluh darah adalah sistem yang kompleks.

Pembuluh darah berjajar dengan otot dan secara konstan beradaptasi dengan kebutuhan kita, melebarkan (membuka) dan mengerut (menutup) untuk mengalirkan darah di tempat yang paling dibutuhkan.

Sebagai contoh, selama olahraga, pembuluh-pembuluh yang memberi makan organ, seperti lambung, akan mengerut, karena tidak aktif pada saat itu. Dengan demikian, darah dialirkan kembali ke otot-otot yang bekerja untuk mendorong pergerakan. Salah satu tanda risiko kardiovaskular yang paling awal terdeteksi adalah berkurangnya fungsi kapasitas melebar ini.

Untuk mengukur ini, kami menggunakan teknik pencitraan yang disebut flow-mediated dilation, pelebaran yang dimediasi aliran atau FMD. FMD mengukur seberapa baik arteri melebar dan menyempit, dan ini dapat memprediksi risiko kardiovaskular kita pada masa depan.

Kesehatan jantung

Kami menemukan bahwa setelah dua minggu tidak aktif secara fisik, terjadi penurunan fungsi arteri. Ini menunjukkan awal dari perkembangan penyakit kardiovaskular. Kami juga mengamati peningkatan faktor risiko tradisional, seperti lemak tubuh, lingkar pinggang, kebugaran dan penanda diabetes, termasuk lemak hati, dan sensitivitas insulin.

Sesuatu yang juga kami amati - yang awalnya tidak kami teliti - adalah melanjutkan tingkat aktivitas normal setelah dua minggu tidak aktif secara fisik berada di bawah garis dasar. Dengan kata lain, peserta kami tidak kembali ke aktivitas normal mereka dalam dua minggu setelah menyelesaikan intervensi.

Ini menarik untuk dipertimbangkan, terutama mengenai efek jangka panjang potensial dari aktivitas fisik yang akut. Dalam dunia nyata, ketidakaktifan fisik akut dapat terjadi karena sedang menderita flu atau berlibur di pantai selama dua minggu - apa pun yang dapat memiliki efek jangka panjang yang potensial pada kebiasaan dan perilaku normal kita.

Hasil ini menunjukkan kepada kita bahwa kita perlu membuat perubahan pada pesan kesehatan masyarakat dan menekankan efek berbahaya bahkan akibat ketidakaktifan fisik jangka pendek. Perubahan kecil pada kehidupan sehari-hari dapat memiliki dampak signifikan pada kesehatan - positif, atau negatif.

Baca Juga: Tanpa Disadari, Ketujuh Hal Berikut Dapat Menyebabkan Migrain

Orang-orang harus didorong untuk meningkatkan tingkat aktivitas fisik mereka, dengan cara apa pun. Cukup meningkatkan aktivitas fisik harian dapat memiliki manfaat yang terukur. Termasuk berjalan kaki sepuluh menit selama jam makan siang, berdiri dari meja Anda setiap jam untuk memecah waktu duduk, atau memarkir mobil kita agak jauh agar bisa berjalan lebih jauh.

Terdapat banyak penelitian terkait dampak menghabiskan hari dengan ketidakaktifan fisik dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, itu telah menjadi perdebatan panas dalam diskusi antar ilmuwan olahraga. Seiring kemajuan teknologi dan kehidupan kita yang semakin diarahkan pada kenyamanan, jenis penelitian seperti ini penting untuk terus dilanjutkan.

Konsekuensi kesehatan dari perilaku tidak aktif sangat parah dan banyak. Bergerak lebih banyak dalam kehidupan sehari-hari bisa menjadi kunci dalam meningkatkan kesehatan kita secara keseluruhan.

Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

Penulis: Tori Sprung, Senior Lecturer in Sport & Exercise Sciences, Liverpool John Moores University dan Kelly Bowden Davies, Teaching Fellow in Sport and Exercise Science, Newcastle University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.