Warga Sangihe dan Tol Langit

By National Geographic Indonesia, Kamis, 21 November 2019 | 13:35 WIB
Kepala Desa Lenganeng, Hesky O. Sasundu sedang memperlihatkan jenis Parang adat Suku sangihe atau yang terkenal dengan nama Peda Sanger. (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Kami juga berjumpa Yusmani Harindah, seorang bapak yang memiliki dua anak. Dia menceritakan kepada kami bagaimana perjuangan dia ketika awal membuat parang, berjalan kaki menjual parang dengan menyeberang pulau dan berjalan kaki.

“Dulu saya jualan pisau menyeberang pakai kapal dan jalan kaki keliling pulau menjual parang,” kata Yusmani. Bahkan, kalau kita pergi menjual parang sampai satu bulan lamanya.”

Baca Juga: Memelihara Budaya dan Pariwisata dengan Teknologi

Ia menceritakan, dirinya mulai bisa membuat pisau sejak kecil. Orang tua dan kakeknya pun dahulu adalah pembuat parang. Ia berharap dengan adanya jaringan telekomunikasi yang lebih baik supaya memudahkan dirinya untuk memasarkan parang bikinannya.

“Kadang, pagi jaringan ada, tapi sore sudah hilang lagi,” kata Yusmani. “Semoga dengan adanya jaringan telepon dan internet bisa dipertahankan dan ditambah, agar memudahkan kita untuk memasarkan parang, baik lewat Facebook atau Whatsapp.”

Masyarakat dan pemuda Lenganeng lebih memilih profesi sebagai pandai besi daripada menjadi buruh bangunan. Alasannya, penghasilan dari membuat parang lebih menjanjikan dibandingkan menjadi buruh.

Hesky O Sasundu mengatakan kepada kami bahwa dahulu orang yang mencari parang memesan kepada orang yang akan ke Sangihe, atau datang langsung ke Lenganeng. “Saat ada jaringan telepon, dulu pembeli itu langsung menelpon, pas ada jaringan internet kita mulai menjual lewat Facebook, jenis-jenis pisau dan parang hingga alat pertukangan kita tinggal upload di Facebook. Semoga dengan adanya jaringan internet bisa lebih bagus lagi, karena pembeli selain Ternate, Papua juga sampai ke Jawa,” ungkapnya.