Warga Sangihe dan Tol Langit

By National Geographic Indonesia, Kamis, 21 November 2019 | 13:35 WIB
Kepala Desa Lenganeng, Hesky O. Sasundu sedang memperlihatkan jenis Parang adat Suku sangihe atau yang terkenal dengan nama Peda Sanger. (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Penulis: Yusuf Wahil

Nationalgeographic.co.id - Matahari belum menampakkan sinarnya. Kapal Motor (KM) Saint Mary beringsut dan merapatkan lambungnya di Pelabuhan Tahuna, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara. Seketika suara langkah demi langkah mulai terdengar di lantai kapal. Penumpang mulai sibuk keluar dari kamar dan dek kapal. Kami dan para penumpang telah menempuh perjalanan selama 13 jam dari Pelabuhan Manado.

Selain hiruk pikuk para penumpang dan buruh angkut, aktifitas nelayan disekitar pelabuhan pun mulai terlihat. Saya bersama videografer Deden Imam Wauntara dan fotografer Josua Marunduh baru pertama kali menginjakkan kaki di Sangihe. Stenly Pantolawokang, satu-satunya pelanggan National Geographic Indonesia,  membantu kami sebagai pemandu selama berada di Tahuna.

Stenly datang bersama buruh angkut yang segera mengangkat barang dan perlengpan kami. Kami menyempatkan untuk mengabadikan aktifitas yang ada disekitar pelabuhan, termasuk Puncak Pusunge.

Baca Juga: Para Nelayan yang Menyiasati Arah Angin dengan Internet

Aktivitas penumpang serta bongkar muat barang di Pelabuhan Tahuna pada saat kapal berlabuh di Pelabuhan Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe. (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Kedatangan kami ke Tahuna untuk melihat budaya dan bentang alamnya. Sangihe adalah salah satu kabupaten terluar yang berada di Provinsi Sulawesi Utara, selain Miangas. Tepatnya, pulau ini berada diujung utara yang berbatasan langsung dengan Filipina.

Saat ini, hampir semua masyakat Tahuna sudah bisa menikmati jaringan telekomunikasi via internet di gawai mereka. Mereka bisa dengan mudah terhubung dengan daerah lain di seluruh Nusantara, melalui koneksi jaringan telepon dan internet. Potensi wisata, budaya, dan hasil laut mereka dapat segera “terjual”. Teknologi ini juga diharapkan berkontribusi pada pembangunan sumberdaya manusia dan pendidikannya.

Program pemerintah membangun dari pinggiran dan menyatukan Indonesia. Salah satunya melalui pembangunan infrastruktur telekomunikasi jaringan tulang punggung pita lebar—Palapa Ring Timur, Palapa Ring Barat dan Palapa Ring Tengah. Setidaknya, terdpat 75 menara BTS terpasang di Sangihe, yang akan diperioritaskan kepada layanan publik seperti puskesmas, perbankan, sekolah, dan kantor desa.

Yusmani Harindah, laki-laki asal Desa Lenganeng ini merupakan salah satu pandai besi di Desa Lenganeng. Sembari memperlihatkan parang hasil buatanya dia juga menceritakan bagaimana kisah hidupnya pergi menjual parang hingga ke Kota Manado. (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Kami berbincang dengan Sekretaris Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Sangihe Kepulauan, Ellenita, E Kapal, di kantornya. Dia menceritakan kepada kami terkait kondisi jaringan telekomunikasi di Sangihe, termasuk  Pulau Marore yang berada di sisi utara Kabupaten Kepulauan Sangihe. Pulau ini berada lebih dekat dengan Filipina.

Saya mengamati dinding kantor Ellenita yang memajang peta daerah-daerah yang telah koneksi jaringan internet seperti di Kecamatan Kandahe, Tahuna Barat, Tahuna, Tahuna Timur,  dan Tabukan Utara. Peta itu juga memberikan informasi kawasan mana saja yang masih mengalami kesulitan sinyal seperti di Kecamatan Kendahe, Kecamatan  Tabukan Selatan Selatan, Tabukan Selatan Tengah, Tabukan Selatan Tenggara, Kecamatan Manganitu Selatan dan beberapa daerah lainnya. Ellenita juga membenarkan bahwa beberapa wilayah di Kepulauan Kabupaten Sangihe masih ada yang belum ada sama sekali memiliki jaringan internet.

“Memang sebelum masuk Palapa Ring, benar-benar belum memiliki jaringan,” kata Ellenita.  “Harapan kami ke depan bahwa dengan adanya Palapa Ring ini akan bisa menjawab kebutuhan di beberapa wilayah.”

Benhar Manoka (47) salah satu pandai besi di Desa Lenganeng, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Benhar bersama dua orang saudaranya rutin memproduksi parang setiapa harinya. ()

Dia pun menunjukkan wilayah yang ada di peta, yang betul-betul tidak memiliki jaringan dan betul-betul blank spot. Menurut Ellenita, sejumlah puskesmas dan sekolah juga sudah mendapat fasilitas jaringan wifi, bahkan mendapatkan pelebaran bandwith.

Dia menyebutkan SMPN 1 Tatoareng dari 1 Mbps menjadi 2 Mbps, SMPN 1 Tahuna dari 2 Mbps menjadi 3 Mbps,  begitu juga dengan Mts Muhammadiyah Petta dari 2 Mbps menjadi 3 Mbps, dan SMKN 1 Tahuna 2 Mbps menjadi 3 Mbps.

Jaringan internet di SMKN 1 Tahuna, selain digunakan untuk kebutuhan sekolah dan Penyelenggara Ujian Nasional Berbasis Komputer UNBK, juga menjadi pilihan warga atau anak muda untuk mengakses internet gratis.

Sindi Parasala, salah seorang siswi kelas XII Jurusan Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ) SMK N 1 Tahuna bercerita tentang manfaat jaringan internet di sekolahnya. “Sangat senang,” kata Sindi. “Dulunya kita ke warnet sekarang bisa main internet di sekolah dan memudahkan mencari tugas dari guru.”

Hasil Kerajinan Parang Sangihe di Desa Lenganeng, Kabupaten Kepualauan Sangihe, Sulawesi Utara. (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Menurutnya, jaringan koneksi internet telah memudahkan dirinya dalam mengerjakan tugas. Apalagi apabila terdapat tugas dari guru yang harus diselesaikan pada hari itu juga. Pada malam hari, saat kami melintas di sekitar sekolah, kami menyaksikan sejumlah remaja menggunakan fasilitas internet gratis. Mungkin mereka sedang mencari materi untuk menyelesaikan tugas sekolah atau sekadar bermain game online.

Sementara itu untuk lingkup pemerintahan Sangihe, Ellenita mengatakan hanya mendapat jatah 20 Mbps untuk dibagikan kepada seluruh bagian pemerintah kabupaten.

Dari Monumen  Malahasa Tahuna, kami beranjak menempuh perjalanan sekitar tujuh kilometer ke arah pegunungan. Kami singgah di Desa Lenganeng. Kampung yang terkenal dengan para pandai besi atau tukang pembuat parang. Hampir 80 persen warganya berprofesi sebagai pengrajin parang.

Hesky O. Sasundu, Kepala Desa Lenganeng sedang memperlihatkan salah satu halaman mereka pada salah satu situs jejaring sosial yang digunakan untuk memasarkan produk kerajinan berupa parang yang menjadi produk andalan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Desa Lenganeng. (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Kami menjumpai Kapitalaung Lenganeng, Hesky O Sasundu. Kapitalaung adalah sebutan untuk kepala desa dalam bahasa Sangihe. Dia banyak menjelaskan jenis-jenis pisau dan parang. Banyak orang memesan parang di Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) yang dikelolahnya—mulai dari Manado, Bitung, Ternate, Kalimantan, hingga Papua.

Kami juga berjumpa Yusmani Harindah, seorang bapak yang memiliki dua anak. Dia menceritakan kepada kami bagaimana perjuangan dia ketika awal membuat parang, berjalan kaki menjual parang dengan menyeberang pulau dan berjalan kaki.

“Dulu saya jualan pisau menyeberang pakai kapal dan jalan kaki keliling pulau menjual parang,” kata Yusmani. Bahkan, kalau kita pergi menjual parang sampai satu bulan lamanya.”

Baca Juga: Memelihara Budaya dan Pariwisata dengan Teknologi

Ia menceritakan, dirinya mulai bisa membuat pisau sejak kecil. Orang tua dan kakeknya pun dahulu adalah pembuat parang. Ia berharap dengan adanya jaringan telekomunikasi yang lebih baik supaya memudahkan dirinya untuk memasarkan parang bikinannya.

“Kadang, pagi jaringan ada, tapi sore sudah hilang lagi,” kata Yusmani. “Semoga dengan adanya jaringan telepon dan internet bisa dipertahankan dan ditambah, agar memudahkan kita untuk memasarkan parang, baik lewat Facebook atau Whatsapp.”

Masyarakat dan pemuda Lenganeng lebih memilih profesi sebagai pandai besi daripada menjadi buruh bangunan. Alasannya, penghasilan dari membuat parang lebih menjanjikan dibandingkan menjadi buruh.

Hesky O Sasundu mengatakan kepada kami bahwa dahulu orang yang mencari parang memesan kepada orang yang akan ke Sangihe, atau datang langsung ke Lenganeng. “Saat ada jaringan telepon, dulu pembeli itu langsung menelpon, pas ada jaringan internet kita mulai menjual lewat Facebook, jenis-jenis pisau dan parang hingga alat pertukangan kita tinggal upload di Facebook. Semoga dengan adanya jaringan internet bisa lebih bagus lagi, karena pembeli selain Ternate, Papua juga sampai ke Jawa,” ungkapnya.