Merawat Cerita untuk Citra Kota Kreatif Dunia

By Zulkifli, Sabtu, 23 November 2019 | 13:53 WIB
Batik-batik ini memiliki cerita dinamika warga pesisir yang dipajang di dalam Museum Batik Pekalongan. (Zulkifli)

"Kami umumkan kepada penumpang, Kereta Api Brantas dengan tujuan akhir Pasar Senen Jakarta telah tersedia di jalur satu."

Saya sedang duduk di sebuah kedai dalam Stasiun Pekalongan ketika kabar itu disiarkan melalui pengeras suara. Beberapa orang terlihat berlari-lari kecil sambil membawa tas dan kardus. Sesaat kemudian, Kereta Api Brantas berangkat. Namun, pengeras suara itu belum juga berhenti memberi kabar. Kali ini, Kereta Api Tawang Jaya Premium yang datang. Stasiun Pekalongan benar-benar sibuk Malam ini.

Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij, N.V. (SCS) membuka jalur sepur di Pulau Jawa. Pada mulanya, jalur ini dibuat sebagai jalan alternatif pengangkutan gula selain menggunakan Jalan Raya Pos-nya Daendels di pesisir utara Jawa. Stasiun Pekalongan termasuk salah satu bagian dari proyek pembukaan jalur sepur itu. Sejak diresmikan pada awal tahun 1899, stasiun ini telah menjadi tempat perlintasan manusia dari bermacam latar dan jabatan. Pun dengan laju perekonomian turut dipercepat oleh rel-rel yang dibangun pada masa kejayaan pabrik-pabrik gula itu.

Belum terang diketahui kapan pertama kali istilah Pantura muncul. “Tetapi, surat kabar seperti Suara Merdeka, Kompas, hingga Suara Pembaharuan mulai banyak menggunakan istilah itu pada penghujung 80-an,” tulis Endah Sri Hartatik dalam Dua Abad Jalan Raya Pantura, Sejak Era Kerajaan Mataram Islam hingga Orde Baru. Pantura adalah akronim dari Pantai Utara. Sejak itu, kata ‘Pantura’ melekat dalam laporan media massa terkait peristiwa yang terjadi di wilayah pesisir utara Pulau Jawa itu. Lebih-lebih ketika musim mudik tiba.

Baca Juga: Menyusuri Bekasi, Kota Pejuang yang Sempat Membuat Penjajah Gentar

Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) di Stasiun Pekalongan. (Zulkifli)

Hingar bingar Pantura dimulai ketika Herman Willem Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1808. Pada masanya, Jalan Raya Pos yang memanjang dari Anyer sampai Panurukan dibangun. “Tak terbilang lagi banyaknya pekerja yang mati, juga karena malaria, juga karena kelaparan, juga karena kelelahan,” tulis Pramoedya Ananta Toer menceritakan bagaimana De Groote Postweg –jalan raya itu dibuat dalam bukunya Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Bagi Pram, pembuatan jalan itu adalah sebuah genosida lain yang dilakukan oleh kolonial Belanda di Indonesia.

Pekalongan di Jawa Tengah ini adalah salah satu kota yang dilintasi oleh Jalan Raya Pos itu. Di kota ini pula Daendels membuat sebuah penanda bagi jalannya itu. Tengara itu ia namai Mylpaal, titik tengah di mana jalan yang disebut oleh Pram dibangun dari banyak nyawa itu berada. Di sebelah selatan Lapangan Jetayu Pekalongan penanda itu berdiri. Saya sampai di Jetayu bersamaan dengan rombongan murid sekolah dasar yang datang untuk bermain sepak bola di lapangan ini.

Di seberang Lapangan Jetayu, seorang pria sedang menyapu gedung dengan pekarangan yang lapang. Gedung itu adalah Museum Batik Pekalongan. Kota Pekalongan dinobatkan sebagai salah satu kota kreatif dunia oleh UNESCO pada 2014. Di Indonesia, ketika memperbincangkan batik, orang-orang akan teringat pada Pekalongan. Soleh Solihun pun demikian. Selama di kota ini, komika itu beberapa kali menyanyikan bait “kota batik di Pekalongan, bukan Jogja e bukan Solo” dari lagu grup musik Slank, Sosial Betawi Yoi, dengan suara yang tak merdu. Tapi, kerajinan tangan itu sekarang sedang mengalami masa sulit.

Baca Juga: Toko Herman: Simpul Pengikat Warga

Penanda Nol Kilometer Pekalongan yang ditandai semenjak pembangunan Jalan Raya Pos melewati kota ini. (Zulkifli)

“Sejak dibangunnya jalan tol yang baru itu, omset penjualan batik di sini menurun,” kata Yunan Helmi Tafthazani. Jalan tol itu adalah ruas jalan Tol Trans Jawa yang melintasi Pekalongan.