Merawat Cerita untuk Citra Kota Kreatif Dunia

By Zulkifli, Sabtu, 23 November 2019 | 13:53 WIB
Batik-batik ini memiliki cerita dinamika warga pesisir yang dipajang di dalam Museum Batik Pekalongan. (Zulkifli)

Sebelum adanya jalan bebas hambatan itu, kendaraan-kendaraan yang melintasi Pantura sering berhenti untuk berbelanja di gerai-gerai batik yang ada di sekitar jalan tersebut. Pembangunan, seperti kata Didi Kaspi Kasim beberapa hari lalu, kadang memberikan kesulitan pada masyarakatnya sendiri. Seperti yang dialami oleh Helmi, juga pengusaha-pengusaha batik lainnya di sepanjang Pantura ini.

Kartiyah punya kisah yang berbeda. Kartiyah, perempuan berusia 60 tahun, mendiami sebuah rumah di Kepatihan Barat, Pekalongan. “Saya belajar membuat koro telur ini sudah sejak kelas dua SD,” kata Kartiyah. Ilmu pembuatan kudapan khas Pekalongan itu telah diajarkan turun temurun di keluarganya. Di dapurnya, perempuan bercucu sebelas itu menghasilkan 4 kilogram koro telur setiap hari. “Sebagiannya saya titipkan di Pojok Lokal SRC Bambang,” ujar Kartiyah. Dari hasil transaksi kudapan itulah ia bisa bertahan hingga sekarang. Kartiyah tidak seperti Helmi. Usaha rumahannya itu tidak digerus oleh pertumbuhan kota. Benar kata Chairil Anwar, nasib memang adalah kesunyian masing-masing orang.

Pojok Lokal SRC adalah pojok atau rak display di toko kelontong SRC (Sampoerna Retail Community) yang dikhususkan untuk menjual produk–produk Usaha Kecil Menengah (UKM) di sekitar toko kelontong SRC. Kolaborasi toko kelontong dan UKM diharapkan membangkitkan semangat untuk tumbuh bersama. Pada 2018, kontribusi UKM terhadap pendapatan nasional kita mencapai 60 persen.

 Baca Juga: Toko Kelontong Bersiasat Di Tengah Arus Modernitas

 

Casriatun, pemilik toko SRC di Kota Pekalongan, tengah berkunjung ke UKM Koro milik Kartiyah. Setidaknya setiap seminggu sekali, Kartiyah memasok kudapan koro ke Pojok Lokal toko Casriatun. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

 

Pojok Lokal SRC adalah pojok atau rak display di toko kelontong SRC (Sampoerna Retail Community) yang dikhususkan untuk menjual produk–produk Usaha Kecil Menengah (UKM) di sekitar toko kelontong SRC. (Zulkifli)

Denys Lombard membandingkan pesisir utara dan selatan Pulau Jawa dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan. “Pantai utara dan pantai selatan berbeda satu sama lain. Yang satu ramah dan terbuka terhadap pengaruh-pengaruh luar; yang lain berbahaya dan tak bersahabat, tebing-tebing karangnya terjal, ombaknya ganas,” tulis Lombard dalam bukunya itu. Namun, pesisir utara sekarang tak lagi sama seperti yang dilihat Lombard itu.

“Tembok bagian belakang itu roboh karena rob tahun lalu,” kata Muhammad Anang Saefulloh kepada saya di dalam Lapas IIA Pekalongan. Anang sudah tiga belas tahun bekerja di lapas yang pernah dihuni oleh Ki Hajar Dewantara dan Haji Misbach ini. Kata pria berusia 35 tahun itu, sebelum pasang besar datang, lapas tempatnya bekerja ini dihuni oleh 800 lebih tahanan. “Sekarang hanya tinggal sepertiganya saja yang menghuni lapas ini,” lanjut Anang.

Rob datang bukan tanpa sebab. Selain karena perubahan iklim, aktivitas pembangunan yang dilakukan di sepanjang pesisir utara Jawa turut menjadi penyebab datangnya bencana itu. Turunnya tanah di Pekalongan diduga karena aktivitas pengambilan air bawah tanah. Di Pulau Jawa ini, pesisir utaranya adalah daerah yang disasar oleh pembangunan kota dan perindustrian. “Pantura dipandang sebagai magnet ekonomi karena telah menjadi urat nadi transportasi antar kota,” tulis Endah Sri Hartatik dalam bukunya itu.

Jalan Raya Pos yang dibangun Daendels memang telah memicu pembangunan-pembangunan pesisir utara Jawa. Bahkan hingga sekarang. Namun, perkara itu juga berdampak buruk bagi sebagian penduduk di sekitarnya. Dari hilangnya ribuan nyawa sebab Jalan Daendels, Tol Trans Jawa yang menurunkan penghasilan para pengrajin batik, hingga robohnya dinding lapas karena pasang besar. Andai Lombard tahu, mungkin ia akan mengubah tulisannya itu.

Baca Juga: Jelajah Tengara-Tengara Cirebon

Bangunan Lapas IIA Pekalongan. Di lapas ini Ki Hajar Dewantara dan Haji Misbach pernah ditahan. (Zulkifli)

Kisah ini merupakan bagian dari jurnal perjalanan National Geographic Indonesia dalam menjelajahi kota-kota pesisir. Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, bersama Soleh Solihun, jurnalis, akan menyusuri beberapa ruas kawasan di pesisir utara Jawa. Mereka melakukan misi pengembaraan singkat bertajuk “Jelajah Pesisir Utara Jawa”. Keduanya mengendarai sepeda motor untuk singgah di Bekasi, Cirebon, Pekalongan, dan berujung di Semarang.

Tim jelajah singgah di tempat-tempat yang memiliki jejak sejarah kereta dan geliat warga dalam usaha kecil menengah, termasuk para pengusaha toko kelontong SRC. Penugasan ini digelar selama tujuh hari, 18 – 24 November 2019. Tujuan Jelajah Pesisir Utara Jawa ini adalah menyaksikan aspek-aspek yang membentuk riwayat kota sampai perkembangannya hingga hari ini. Pembangunan infrastruktur Jalan Raya Pos dan jaringan kereta api telah membuat kota-kota menjadi lebih dekat makin kuat.

Simak jurnal perjalanan harian #JelajahPesisirUtaraJawa di akun media sosial dan web National Geographic Indonesia.

#JelajahPesisirUtaraJawa #NGIonAssignment_SRC #DekatMakinKuat