Nationalgeographic.co.id - Nama Bantar Gebang sempat mendunia beberapa bulan lalu. Perkaranya bermula ketika Leonardo DiCaprio mengunggah sebuah foto di akun instagramnya. Dalam foto itu terlihat dua orang pria sedang berada di tengah-tengah hamparan tumpukan sampah. Garbage pickers collect plastic from among domestic waste in the Bantar Gabang dump near Jakarta, Indonesia. It’s thought to be the world’s largest dump. Begitu keterangan yang menyertai unggahan dari aktor yang membintangi film Titanic itu.
Bantar Gebang adalah salah satu kecamatan yang berada di dalam kawasan administratif Kota Bekasi. Pada tahun 1986, Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) mulai beroperasi di daerah ini. Tempat itulah yang menjadi latar dari foto unggahan Leo itu. “Lahan keluarga saya ini saban hari disinggahi truk-truk sampah Bantar Gebang,” kata Herman, seorang pemilik toko kelontong di Kelurahan Cikiwul.
Baca Juga: National Geographic Indonesia on Assignment: Singkap Riwayat Kota Pesisir Utara Jawa
Toko kelontong milik pria berusia 31 tahun itu hanya berjarak sepuluh menit dari TPST Bantar Gebang. Pekarangannya yang luas memang telah menjadi tempat peristirahatan bagi truktruk barang. Bahkan truk-truk barang dari Aceh pun kerap parkir untuk beristirahat di sini. Sejak November 2007 lalu, Herman membuka toko kelontong ini di lahan milik keluarganya ini. Enam tahun kemudian, toko yang ia namakan Toko Prima ini mulai bermitra dengan SRC (Sampoerna Retail Community). SRC adalah toko kelontong masa kini yang turut mendukung banyak usaha kecil menengah (UKM) dengan Pojok Lokal. Pojok Lokal inilah yang menyajikan produk-produk olahan karya UKM setempat.
Pada masa awal ia bergabung dalam SRC ini, ia mendapati warga ramai membincangkannya. “Apaan sih bikin toko jadi kayak gitu. Kayak ikutan merek lain aja,” ujar Herman menceritakan Arus kendaraan di ruas jalan raya Kota Bekasi. ocehan tetangga-tetangganya itu. Namun, Herman tak patah arang. Ia menerangkan kepada tetangga-tetangganya bahwa toko yang ia miliki ini lebih rapi dan nyaman setelah bergabung dengan komunitas itu.
SRC tercatat diluncurkan pada tahun 2008 lalu. Melalui berbagai programnya, SRC rutin melakukan pembinaan terhadap peritel tradisional. Mulai dari penataan toko, bagaimana strategi pemasaran, pengembangan usaha, hingga mengatur keuangan adalah edukasi yang diberikan oleh SRC kepada tiap mitranya. “Kalo uang ada nominalnya. Tapi, ilmu dagang seperti ini gak ada nilainya,” kata Herman terkait program yang ia terima dari SRC itu.
Tak hanya menguntungkan Herman sendiri, tokonya pun turut membantu perekonomian warga di sekitar toko miliknya. Sejak menjadi bagian SRC, toko yang berada di Jalan Raya Narogong KM 12 ini mulai menyediakan satu bagian dalam tokonya untuk produk-produk yang dihasilkan warga lokal. Pojok Lokal, begitu tertulis di papan nama pada rak yang menjadi etalase produk lokal itu. “Ini manisan pala, ini koya susu, tengteng, dan ini keremes ubi,” tunjuk Herman mengenalkan produk lokal milik tetangga-tetangganya.
Pojok Lokal yang diinisiasi oleh SRC ini mendapat sambutan hangat dari pedagang-pedagang kelontong hingga masyarakat yang berada di sekitar toko yang menjadi mitra SRC itu berada. Terakomodirnya produk lokal dengan manajemen yang baik adalah sebabnya. “Tetanggatetangga saya jadi punya peluang untuk mendapatkan penghasilan lebih,” ujar Herman. Baginya, toko yang ia miliki bukan hanya untuk berjualan saja. Tapi, juga bisa membantu orang-orang di sekitarnya. “Biasanya produk lokal ini saya promosikan di media sosial,” lanjutnya. Herman, 31 tahun, pemilik Toko Prima di Narogong.
Dekatnya toko kelontong Herman dengan warga di sekitar tidak hanya terjadi dalam proses jual beli saja. Kadang toko ini menggelar acara menonton bersama. “Kalo ada champion atau Piala Dunia saya bikin nobar di sini,” kata Herman. Hari kemerdekaan Indonesia pun dirayakan bersama di halaman tokonya. “Pas tujuh belasan saya bikin caturan di sini tiap tahun,” terang pria dua anak ini. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Herman ini tak pelak menambah hangat dan makin bersahabat antar orang-orang yang berada di lingkungannya.
Baca Juga: Menyusuri Bekasi, Kota Pejuang yang Sempat Membuat Penjajah Gentar
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR