Nationalgeographic.co.id—Bulan lalu, saat musim pendakian 2025 dimulai di Gunung Everest, majelis tinggi parlemen Nepal mengusulkan sebuah rancangan undang-undang kepariwisataan yang memuat serangkaian aturan baru.
Aturan-aturan ini berpotensi memperketat siapa saja yang boleh mencoba mendaki Everest, siapa yang diizinkan menjadi pemandu, dan berapa biaya yang harus dikeluarkan. Dalam proposal tahun ini, setiap pendaki yang ingin mencoba mendaki Everest diwajibkan terlebih dahulu mendaki gunung setinggi 7.000 meter di wilayah Nepal.
Aturan lainnya mencakup keharusan bahwa semua pemandu harus warga negara Nepal, surat keterangan sehat dari fasilitas medis resmi di dalam negeri, biaya tambahan untuk pengelolaan sampah, serta asuransi yang mencakup biaya tinggi untuk evakuasi jenazah dari gunung.
Menurut laporan The Washington Post, biaya pengangkutan jenazah dari Everest dapat mencapai antara 30.000 hingga 70.000 dolar AS.
Pengumuman seperti ini sebenarnya muncul hampir setiap tahun. Pemerintah Nepal kerap melontarkan wacana aturan baru demi meningkatkan keselamatan dan tanggung jawab di puncak Everest—seperti pelarangan pendaki solo dan helikopter, hingga kewajiban penggunaan chip pelacak dan pengangkutan kotoran manusia.
Namun, aturan-aturan ini jarang benar-benar diterapkan. Alasannya berkisar dari penolakan dari perusahaan operator pendakian hingga kegagalan legislatif dalam mengesahkan rancangan undang-undang tersebut.
Saat ini, RUU tersebut masih dalam tahap rancangan dan harus melalui dua tahap pembahasan di parlemen, sehingga kemungkinan besar akan mengalami perubahan.
Dua aturan yang paling menuai kontroversi adalah persyaratan mendaki gunung setinggi 7.000 meter dan kewajiban menggunakan pemandu asal Nepal.
Keduanya sebenarnya bukan hal baru dan telah diusulkan dalam berbagai bentuk sebelumnya, tetapi belum pernah benar-benar diundangkan.
Lakpa Rita Sherpa, yang telah menjadi pemandu di Everest selama dua dekade dan mencapai puncak sebanyak 17 kali, menyebut bahwa beberapa gagasan tersebut secara umum baik—seperti memastikan pendaki memiliki pengalaman di ketinggian.
Namun, menurutnya, ide-ide serupa sudah sering muncul, dan “tidak pernah benar-benar diloloskan atau ditegakkan.” Ia menyebutkan sulitnya penerapan aturan-aturan itu, karena pemerintah harus mengawasi kepatuhan ratusan perusahaan dan pendaki, sementara kementerian terkait sering berganti pejabat dan praktik suap masih lazim terjadi. Meski Kementerian Pariwisata Nepal tidak memberikan komentar terkait tuduhan suap tersebut.
Baca Juga: Ini yang Terjadi pada Tubuh Manusia Ketika Berada di Zona Kematian Gunung Everest
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR