Nationalgeographic.co.id - “Pantai utara di beberapa tempat sangat indah,” tulis Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java. Pria Inggris ini tercatat sebagai Gubernur-Letnan Hindia Belanda kurun waktu 1811-1816. Pantai yang diceritakan Raffles itu berada di sebelah utara Pulau Jawa. Saban hari raya, jalur ini sibuk oleh lalu-lalang kendaraan-kendaraan para pemudik. Namun, keramaian Pantura rupanya telah ada jauh sebelum munculnya para pemudik musiman itu.
Adalah kapal-kapal niaga bangsa asing yang kerap menambatkan jangkarnya di pelabuhan-pelabuhan utama di sepanjang pesisir ini pada masa raja-raja. Pelabuhan-pelabuhan itu terletak di Batavia, Cirebon, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya. Kemudian, hingar bingar Pantura berlanjut ketika Herman Willem Daendels membangun Jalan Raya Pos.
“Petilasan-petilasan kejayaan pesisir utara tempo dulu banyak berserak di sepanjang rute perjalanan ini,” kata Didi Kaspi Kasim kepada saya. Didi dan saya, juga Soleh Solihun, sedang melakukan perjalanan ke kota-kota di pesisir utara Jawa. Kami sedang memulangkan ingatan pada kejayaan pesisir utara masa dulu.
Baca Juga: Jelajah Tengara-Tengara Cirebon
Pada masa ini, masihkah pesisir utara berjaya? Atau telah menjadi halaman belakang rumah para penghuni kota-kotanya?
“Bekasi adalah kota yang berbekas di hati,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Di Tepi Kali Bekasi. Tapi, Pram, saya membutuhkan kesabaran lebih untuk bisa bertahan di Bekasi ini. Di pusat kotanya, bermacam kendaraan tumpang tindih, saling merangsek di simpang-simpang jalan beraspal. Laju kotanya, di mana industri dan masyarakat bertemu masih campur aduk. Di kota inilah, pada terik siang, perjalanan saya bermula.
Kota Bekasi tak dilalui oleh Jalan Raya Pos. Tapi, rel-rel yang saling silang dalam kota ini lahir karena dipicu kerjaan Daendels itu. Awal perjalanan orang dan barang dari Bekasi menuju Jakarta menggunakan moda sepur ini telah dimulai sejak 1887 silam. Masa itu, lintasan rel trayek Batavia-Bekasi selesai dibangun oleh Bataviasche Oosterspoorweg Maatschappij, perusahaan kereta api Belanda di Batavia. Tak ayal, lahirnya stasiun ini telah menambah kencang denyut Kota Bekasi.
Didi punya pandangan lain terhadap Bekasi. Kota ini adalah kota yang pelik, katanya. “Pembangunan di kota ini kadang juga memberikan kesulitan kepada manusia di sekelilingnya,” lanjut Didi. Bekasi yang dilihat Didi ini tak sama seperti yang tampak di mata Pram. Ditakdirkan untuk menjadi kota yang riuh, Kota Patriot ini memiliki tantangannya sendiri; keseimbangan pembangunan kota dengan kenyamanan manusia yang menghuninya.
Hawa panas Bekasi punah di Cirebon. Saya sampai di kota ini ketika hujan baru saja reda. Kota Cirebon adalah titik di mana jalan yang dibangun Daendels pada 1808 silam itu mulai memantai ke pesisir utara Pulau Jawa. Tapi, sebelum jalan itu dikenal sebagai simpul penggerak perdagangan antar kota, kota ini telah populer di mata para pedagang dunia. “Rombongan kapal Tiongkok pernah berlabuh di Bandar Muara Jati. Armada itu singgah untuk membeli bekal sebelum menuju Majapahit,” catat manuskrip Carita Purwaka Caruban Nagari. Bandar Muara Jati sekarang telah beralih rupa menjadi Pelabuhan Cirebon.
“Kalo ga salah sudah empat kali saya ke sini,” kata Soleh Solihun. “Tapi, cuma kenal empal gentongnya saja, ga tau kalo di sini ada kota lamanya juga,” lanjut komika asal Sunda ini kepada saya. Kami sedang berada di seberang sebuah gedung di Jalan Pasuketan, Lemahwungkuk. Bangunan itu adalah milik perusahaan tembakau Inggris, British American Tobacco (BAT) Ltd. Bangunan yang dikenal dengan nama Gedung BAT ini terakhir beroperasi sembilan tahun lalu. Namun, matinya aktivitas gedung bergaya art deco ini tidak berdampak pada pedagang-pedagang yang membuka lapak di belakangnya.
Barang-barang bekas menumpuk di kiri kanan ruas jalan di belakang Gedung Bat. Dari lemari kayu, sofa, gelas, hingga baju bekas pakai mengisi etalase-etalase terbuka di sepanjang jalan ini. “Ini usaha keluarga saya. Udah jalan 20 tahun lebih,” kata Adi Putra di depan lapaknya.
Barang loakan di sepanjang jalan ini berasal dari barang bekas milik kafe-kafe yang bangkrut dan barang rumahan yang ditinggalkan pemiliknya pindah keluar Cirebon. Ruas jalan di antara Jalan Talang dan Jalan Kebumen ini hanya berjarak empat menit saja dari Muara Jati di mana kapal-kapal niaga bangsa asing kerap hilir mudik berabad lampau. Namun, masa jaya maritim itu tak tampak berbekas di sini.
Jalan Raya Pos dibangun oleh Daendels di sepanjang pesisir utara Jawa. Panjangnya kurang lebih seribu kilometer. Tumbuh kembangnya kawasan pesisir utara Jawa tak pelak juga dipicu oleh adanya jalan ini. Namun, jalan ini menyimpan banyak cerita kelam. “Tak terbilang lagi banyaknya pekerja yang mati, juga karena malaria, juga karena kelaparan, juga karena kelelahan,” tulis Pramoedya Ananta Toer mengisahkan bagaimana De Groote Postweg –Jalan Raya Pos dikerjakan dalam bukunya Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.
Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer sampai ke Panurukan juga melintas di Pekalongan. Dalam hitungan Daendels, Kota Batik ini adalah titik tengah dari jalan yang ia buat itu. Oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu, tugu Mylpaal –titik nol didirikan di sebelah selatan Lapangan Jetayu Pekalongan. Pagi ini, tepat di seberang Lapangan Jetayu, beberapa murid SD terlihat mengantri masuk ke Museum Batik Pekalongan.
Pekalongan memang identik dengan batik. Sebab itu saya tak heran Soleh Solihun acap melantunkan lirik “Kota batik di Pekalongan, bukan Jogja e bukan Solo” dari lagunya Slank selama berada di kota ini. Tapi, kerajinan tangan itu sekarang sedang mengalami masa sulit. “Dulu kendaraan-kendaraan yang melintasi Pantura sering berhenti berbelanja di gerai-gerai batik yang ada di sepanjang jalan,” ujar Yunan Helmi Tafthazani kepada saya di beranda rumahnya. Sejak Tol Trans Jawa melintas di sini, lanjut pria berusia 41 tahun ini, omset penjualan batik menurun. Keluhan Helmi ini mengingatkan saya pada perkataan Didi beberapa hari lalu. “Pembangunan kadang memberikan kesulitan pada masyarakatnya sendiri”.
Kami singgah di Strafgevangenis, kini Lapas Kelas II A Pekalongan. Gedung bermenara kembar ini mulai digunakan pada 1913.
Inilah salah satu perziarahan bagi jurnalis Indonesia. Jurnalis bumiputra pertama yang mendekam di Strafgevangenis Pekalongan adalah Raden Mas Soewardi Soerianingrat. Dia dipenjara karena artikelnya yang mengkritik pemerintah Hindia Belanda. Ningrat asal Yogyakarta itu bebas pada 27 September 1921.Dia kelak lebih suka disapa dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Bapak Pendidikan Nasional kita! Namanya dikenang untuk seruas jalan di Pekalongan. Namun, di kota kelahirannya sendiri, Kota Yogyakarta, tak seruas jalan pun yang mengabadikan namanya.
“Cetak biru jalur kereta api di Indonesia dipicu oleh Jalan Raya Pos yang dibuat oleh Daendels,” tulis Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya : Batas-Batas Pembaratan. Rencana itu telah muncul sejak 1840, namun baru bertahun-tahun kemudian jalur sepur pertama diresmikan oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), perusahaan kereta api swasta Belanda. Semarang adalah kota di mana kereta api terdengar melaju untuk pertama kali. Trayeknya dari Stasiun Samarang ke Stasiun Tanggoeng.
“Kota-kota tujuan kita ini panas semuanya, ya,” kata Soleh Solihun kepada saya. Saya mengamini ujaran Soleh itu. Sepanjang pesisir ini, terik matahari tak main-main. Di Taman Srigunting Semarang, papan penunjuk suhunya tercatat 40 derajat. Tapi, angka itu tak diindahkan oleh wisatawan yang berlalu-lalang. Mereka, para wisatawan itu, masih asyik berswafoto dengan latar bangunan-bangunan tua di Kota Lama Semarang. Saya, Soleh, dan juga Didi, memilih untuk menepi. Sebab matahari di sini tak bisa diajak berkompromi.
Jalan Raya Pos, juga jalur kereta, yang dibangun ratusan tahun silam di pesisir utara Pulau Jawa telah berdampak luas pada kota dan manusia yang menghuninya. “Jalur ini memudahkan bercampurnya budaya dan gagasan-gagasan baru,” kata Denys Lombard dalam bukunya itu. Beberapa kota tua di pesisir ini tak mampu bertahan dari derasnya modernitas. Denyut kota dan laku manusia yang dilihat oleh Didi dan Soleh selama perjalanan ini hanya menyisakan sedikit tanda-tanda kejayaan masa silam di pesisir utara Jawa. Selebihnya, hanya tersurat di buku-buku sejarah, namun raib di permukaan.
Baca Juga: National Geographic Indonesia on Assignment: Singkap Riwayat Kota Pesisir Utara Jawa
Kisah ini merupakan bagian dari jurnal perjalanan National Geographic Indonesia dalam menjelajahi kota-kota pesisir. Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, bersama Soleh Solihun, jurnalis, melakukan misi pengembaraan singkat bertajuk “Jelajah Pesisir Utara Jawa”. Keduanya mengendarai sepeda motor untuk singgah di Bekasi, Cirebon, Pekalongan, dan berujung di Semarang.
Tujuan Jelajah Pesisir Utara Jawa ini adalah menyaksikan aspek-aspek yang membentuk riwayat kota sampai perkembangannya hingga hari ini. Pembangunan infrastruktur Jalan Raya Pos dan jaringan kereta api telah membuat kota-kota menjadi lebih dekat makin kuat.
Simak jurnal perjalanan harian #JelajahPesisirUtaraJawa di akun media sosial dan web National Geographic Indonesia.