Kopi Tiom, Memunguti yang Diabaikan

By National Geographic Indonesia, Kamis, 28 November 2019 | 15:28 WIB
Pekerja menyortir biji kopi di rumah produksi pengolahan Kopi Tiyom, Gunung Susu, Distrik Hubikosi, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. (Djuli Pamungkas)

Akses transportasi yang sulit, kembali menjadi kendala untuk memasarkan hasil kebun. Harga kopi tergolong murah dibanding harga-harga produk lain yang didatangkan dari luar Papua dan dijual di kios, seperti gula, sabun atau beras. Saat itu kopi malah dipakai untuk barter dengan barang-barang kebutuhan lain. Hal tersebut membuat kopi dibudidaya ala kadarnya.

Beberapa tahun lalu, saat mulai ada yang menaruh minat terhadap kopi, masyarakat sudah melupakan kebun kopi, cerita Denny. Kebun dan jumlah tegakan tanaman kopi hanya tinggal sisa-sisa. Sementara program BPTP tak lagi berlanjut di masa awal pemberlakuan Otonomi Khusus.

"Dulu saya membanggakan kampung saya sebagai penghasil kopi, sayur mayur dan buah-buahan," kata Denny. Hanya saat ia pulang di tahun 2004, kebanggaan itu berubah drastis.

Masyarakat cenderung punya tabiat malas kerja kebun. Seiring berjalannya Otonomi Khusus (otsus) muncul tren masyarakat membawa proposal ke kantor dinas-dinas, bertemu pejabat atau pegawai pemerintah mengajukan permintaan dana dengan beragam alasan. Bagaimana laporan penggunaan uang saat proposal disetujui, tidak ada pertanggung jawaban yang transparan.

"Saya sempat mengajak beberapa orang di kampung untuk membudidaya tanaman sayur," kenang Denny, di sela pekerjaannya sebagai pilot pesawat perintis. Mereka bekerja baik, bibit ditanam dan dirawat hingga panen. Hasil panenan bagus. Hanya saja mereka menjual panenan yang bagus pada orang lain. Sementara panenan yang jelek diberikan pada saya untuk meminta bibit sayuran yang baru, tanpa menyerahkan penjualan hasil panen, cerita Denny.

Pekerja menggiling biji kopi di rumah produksi pengolahan Kopi Tiyom, Gunung Susu, Distrik Hubikosi, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. (Djuli Pamungkas)

Kopi Tiom yang kemudian menjadi brand usaha kopi, dirintis Denny Jigibalom dengan bantuan teman-teman semasa kuliah di Bandung. Mulai dari pengurusan perijinan, mencari peluang pasar dan bantuan modal.

Untuk pengadaan kopi, Denny memulai dari petani yang masih punya hubungan keluarga, yang persis  ia tahu memiliki ketekunan berkebun. Seperti Levi Jigibalom di Kampung Kunagi, Kabupaten Lanny Jaya. "Levi ini lulusan SMP, tapi begitu bangun tidur langsung ke kebun dan tidak pernah bepergian," cerita Denny.

Selain itu ada Kelompok Tani Makmur, di Kampung Unom, Distrik Nogi, Kabupaten Lanny Jaya, kelompok petani pertama yang dilatih oleh BPTP. Dulu mereka tidak hanya didampingi bercocok tanam kopi, tapi segala jenis tanaman budidaya. "Kelompok ini saya minta untuk menjadi pendamping petani yang lain, yang masih berminat kerja kebun", kata Denny.

Denny membangun dan menjaga kepercayaan dengan petani maupun kelompok petani, pihak pertama dalam industri kopi. "Saya membayar harga yang layak untuk kualitas kopi panenan mereka", kata Denny. Saat biji kopi masih memerlukan perlakuan tambahan seperti harus dijemur karena kadar air tinggi, Denny secara transparan selalu menceritakan pada para petani tersebut.

Bagi Denny, petani kopi juga harus tahu seperti apa kopi yang berkualitas, bagaimana mengupayakan dan menjaga kualitas itu. Sementara di tahapan pengolahan kopi seperti pengeringan, roasting dan pengemasan, Denny melibatkan anak-anak muda setempat yang sudah selesai atau putus sekolah.

Beberapa anak dikenal Denny di jalanan di Kota Wamena. Anak-anak ini ada yang jual bibit pohon atau bunga anggrek di jalan-jalan, ada juga yang menjaga parkir. Hampir semua orang tahu, anak-anak ini mencari uang untuk membeli lem. Biasa orang menyebut anak-anak ini anak aibon, mereka yang mabuk dengan cara hisap lem.