Penulis: Albertus Vembrianto
Nationalgeographic.co.id - Sebelum musim tren kopi, hampir tak ada yang tahu bahwa Tiom merupakan salah tempat penghasil kopi terbaik Papua.
Tahun lalu di lelang Festival Kopi Papua, varietas Arabica asal Tiom, ibukota Kabupaten Jayawijaya tercatat sebagai kopi termahal. Per kilogram terjual dengan harga Rp 5,3 juta. Penggemar kopi di perkotaan mulai menaruh perhatian bahwa Tiom adalah kawasan penghasil kopi. Berbeda kawasan dengan Wamena.
"Tahun 1995, saat masih sekolah di Bandung, kopi Tiom ini saya bawa sebagai oleh-oleh belaka untuk teman-teman di Jawa," cerita Denny Jigibalom, 40 tahun. Sebab belum mengenal tata kelola paska panen, kopi dibawa dalam bentuk biji. Denny saat itu hanya terpikir mengenalkan kampung halaman serta hasil alamnya, selain koteka dan gelang.
Baca Juga: Perang, Sege dan Jejak Pertanian Masa Lalu
Kopi mulai ditanam di Tiom saat masa misionaris masuk kawasan pegunungan tengah Papua di tahun 1960. Selain menyebarkan agama, misionaris juga mengenalkan budidaya pertanian dan pendidikan.
Saat itu masyarakat hanya tahu tanam saja, kata Denny. Ketersediaan akses transportasi hanya pesawat atau jalan kaki. Perjalanan ke Wamena, ibukota saat itu, diperlukan beberapa hari dengan jalan kaki. Sementara jadwal pesawat tidak tertentu, menyesuaikan dengan kegiatan misionaris.
Mulai di awal 1980an, melalui program Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), semasa Almarhum BJ Habibie menjadi menteri negara riset dan teknologi Indonesia, kopi di sekitar Tiom mulai dibudidaya lagi.
Ada beberapa kelompok petani yang dibentuk dan didampingi BPTP. Tidak hanya untuk kopi, melainkan juga pertanian sayuran dan tanaman budidaya lain. Tradisi berkebun masyarakat pegunungan membuat pertanian berkembang baik. Di masa itu hingga tahun 2000 awal, kawasan pegunungan terkenal dengan penghasil sayur.
Denny bercerita, sebelum musim tren pertanian organik, di kawasan pegunungan Papua, pertanian pupuk organik yang dikembangkan. Tanah sudah subur. Sementara pupuk bikinan pabrik mustahil diakses petani dengan kondisi akses transportasi yang sulit.
Akses transportasi yang sulit, kembali menjadi kendala untuk memasarkan hasil kebun. Harga kopi tergolong murah dibanding harga-harga produk lain yang didatangkan dari luar Papua dan dijual di kios, seperti gula, sabun atau beras. Saat itu kopi malah dipakai untuk barter dengan barang-barang kebutuhan lain. Hal tersebut membuat kopi dibudidaya ala kadarnya.
Beberapa tahun lalu, saat mulai ada yang menaruh minat terhadap kopi, masyarakat sudah melupakan kebun kopi, cerita Denny. Kebun dan jumlah tegakan tanaman kopi hanya tinggal sisa-sisa. Sementara program BPTP tak lagi berlanjut di masa awal pemberlakuan Otonomi Khusus.
"Dulu saya membanggakan kampung saya sebagai penghasil kopi, sayur mayur dan buah-buahan," kata Denny. Hanya saat ia pulang di tahun 2004, kebanggaan itu berubah drastis.
Masyarakat cenderung punya tabiat malas kerja kebun. Seiring berjalannya Otonomi Khusus (otsus) muncul tren masyarakat membawa proposal ke kantor dinas-dinas, bertemu pejabat atau pegawai pemerintah mengajukan permintaan dana dengan beragam alasan. Bagaimana laporan penggunaan uang saat proposal disetujui, tidak ada pertanggung jawaban yang transparan.
"Saya sempat mengajak beberapa orang di kampung untuk membudidaya tanaman sayur," kenang Denny, di sela pekerjaannya sebagai pilot pesawat perintis. Mereka bekerja baik, bibit ditanam dan dirawat hingga panen. Hasil panenan bagus. Hanya saja mereka menjual panenan yang bagus pada orang lain. Sementara panenan yang jelek diberikan pada saya untuk meminta bibit sayuran yang baru, tanpa menyerahkan penjualan hasil panen, cerita Denny.
Kopi Tiom yang kemudian menjadi brand usaha kopi, dirintis Denny Jigibalom dengan bantuan teman-teman semasa kuliah di Bandung. Mulai dari pengurusan perijinan, mencari peluang pasar dan bantuan modal.
Untuk pengadaan kopi, Denny memulai dari petani yang masih punya hubungan keluarga, yang persis ia tahu memiliki ketekunan berkebun. Seperti Levi Jigibalom di Kampung Kunagi, Kabupaten Lanny Jaya. "Levi ini lulusan SMP, tapi begitu bangun tidur langsung ke kebun dan tidak pernah bepergian," cerita Denny.
Selain itu ada Kelompok Tani Makmur, di Kampung Unom, Distrik Nogi, Kabupaten Lanny Jaya, kelompok petani pertama yang dilatih oleh BPTP. Dulu mereka tidak hanya didampingi bercocok tanam kopi, tapi segala jenis tanaman budidaya. "Kelompok ini saya minta untuk menjadi pendamping petani yang lain, yang masih berminat kerja kebun", kata Denny.
Denny membangun dan menjaga kepercayaan dengan petani maupun kelompok petani, pihak pertama dalam industri kopi. "Saya membayar harga yang layak untuk kualitas kopi panenan mereka", kata Denny. Saat biji kopi masih memerlukan perlakuan tambahan seperti harus dijemur karena kadar air tinggi, Denny secara transparan selalu menceritakan pada para petani tersebut.
Bagi Denny, petani kopi juga harus tahu seperti apa kopi yang berkualitas, bagaimana mengupayakan dan menjaga kualitas itu. Sementara di tahapan pengolahan kopi seperti pengeringan, roasting dan pengemasan, Denny melibatkan anak-anak muda setempat yang sudah selesai atau putus sekolah.
Beberapa anak dikenal Denny di jalanan di Kota Wamena. Anak-anak ini ada yang jual bibit pohon atau bunga anggrek di jalan-jalan, ada juga yang menjaga parkir. Hampir semua orang tahu, anak-anak ini mencari uang untuk membeli lem. Biasa orang menyebut anak-anak ini anak aibon, mereka yang mabuk dengan cara hisap lem.
"Saya pernah tanya pada anak-anak di jalan itu, kenapa mereka hisap lem," kata Denny. Anak-anak cerita hisap lem agar bisa menahan lapar. Denny secara sengaja bergaul dengan anak-anak itu. Sering teman-teman bertanya bahkan mengolok, untuk apa berteman dengan anak-anak aibon itu, kata Denny.
Tapi Denny percaya, anak-anak bisa bekerja asal diberi kesempatan dan pendampingan. Memang hanya beberapa anak yang dikenal di jalanan yang perlahan mulai mengubah kebiasaan. "Tiap-tiap anak punya proses sendiri-sendiri," kata Denny.
Kini ada 8 anak muda yang terlibat dalam bisnis kopi dengan brand Kopi Tiom. Mereka yang menangani urusan mulai dari mengambil kopi di Tiom, Kabupaten Lanny Jaya, pengeringan, roasting dan pengiriman kopi.
Persoalan yang masih menjadi kendala untuk menjaga konsistensi produksi kopi adalah ketidakstabilan harga BBM dan jaringan sinyal. Saat hari-hari pertama kerusuhan di Wamena kemarin, harga bensin per liter mencapai Rp 80,000.
Jarak tempuh dari Gunung Susu, di pinggiran Kota Wamena, tempat Denny mengolah kopi, ke Tiom sekitar 74 kilometer. Dengan kondisi jalan yang melintasi pegunungan dan sebagian belum beraspal, waktu tempuh bisa 3 jam. "Saat harga bensin di atas normal kami harus menunda mengambil kopi dari Tiom," kata Denny. Di hari-hari biasa, per botol kemasan besar air mineral harganya Rp20 ribu.
Baca Juga: Kreasi Anyam Noken Para Janda di Lembah Balim
Sementara terkait jaringan sinyal, sering menjadi kendala untuk urusan promosi, mencari peluang pasar dan menjalin kontak dengan konsumen di luar Wamena atau Papua.
Denny yakin bahwa kopi ini bisa menjadi peluang untuk peningkatan kesejahteraan petani di pegunungan. Kini permintaan pasar kopi, tak semua bisa dipenuhi dengan keluasan kebun dan jumlah petani kopi sekarang.
Denny berharap pemerintah menginisiasi program agar masyarakat kembali ke kebun dan membudidaya tanaman, seperti kopi dan sayur. Jika masyarakat kembali ke kebun, maka masyarakat bisa sejahtera. "Saya setuju dengan pemekaran, tapi 'pemekaran' kebun kopi dan sayur yang bisa mendorong masyarakat tekun kerja kebun," kata Denny serius.