Kisah Kebangkitan dan Keruntuhan Tembok Berlin

By Gita Laras Widyaningrum, Selasa, 10 Desember 2019 | 16:58 WIB
Penduduk Jerman Barat memanjat Tembok Berlin di hadapan para penjaga Jerman Timur pada November 1989. (Hesse, Ullstein Bild/Getty )

Nationalgeographic.co.id – Selama hampir 30 tahun, Berlin tidak hanya dipisahkan oleh ideologi, tapi juga penghalang beton yang menjadi simbol buruk dari Perang Dingin.

Dibangun dengan tergesa-gesa dan kemudian dihancurkan akibat protes, Tembok Berlin memiliki panjang sekitar 27 mil dan dilindungi oleh kawat berduri, anjing penyerang, serta 55 ribu ranjau darat. Namun, meski sempat berdiri tegak antara 1961 hingga 1989, ia tidak mampu bertahan dari gerakan demokrasi yang menghancurkan Republik Demokratik Jerman (RDJ) dan memicu berakhirnya Perang Dingin.

Baca Juga: Menyusuri Bekasi, Kota Pejuang yang Sempat Membuat Penjajah Gentar

Setelah Perang Dunia II, wilayah Jerman dikuasai oleh Uni Soviet (Blok Timur) dan Sekutu (Blok Barat). Perang antara kedua kubu ini pun memisahkan kota Berlin.

Pada 1949, Jerman benar-benar terbelah. Terbentuk dua Jerman kala itu. Jerman Timur atau yang kerap disebut Republik Demokratik Jerman (RDJ) saat itu terpuruk oleh kemiskinan serta pemogokan buruh akibat perubahan sistem politik dan ekonomi yang baru. Melihat hal ini, pemimpin RDJ kemudian memutuskan untuk menutup perbatasan dengan Jerman Barat pada 1952. Menyulitkan orang-orang “komunis” untuk menyebrang ke Jerman Barat yang “lebih bebas”.

Tembok Berlin membentang sepanjang 27 mil. (Norbert Enker, Laif/Redux)

Penduduk Jerman Timur kerap melarikan diri dengan menyusup ke Jerman Barat. Ada sekitar 1.700 orang yang melakukannya setiap hari dan antara tahun 1946 hingga 1961, jumlanhya mencapai tiga juta warga.

Pada 13 Agustus 1961 dini hari, ketika orang-orang Berlin sedang tidur, RDJ mulai mebangun pagar penghalang untuk menutup pintu masuk dari Berlin Timur ke Barat. Langkah semalam yang mereka lakukan ini mengejutkan warga Jerman di kedua sisi perbatasan.

Ketika tentara RDJ berpatroli di perbatasan dan para buruh mulai membangun tembok beton, para pejabat diplomatik dan militer dari kedua belah pihak, terlibat dalam serangkaian ketegangan.

Akhirnya, Jerman Timur membangun tembok beton sepanjang 27 mil di tengah kota. Itu sebenarnya merupakan dua dinding paralel yang diselingi dengan penjaga dan dipisahkan oleh “garis kematian”—meliputi anjing penjaga, ranjau darat, kawat berduri dan beberapa rintangan lainnya untuk mencegah warga melarikan diri. Tentara Jerman Timur memantau tembok tersebut selama 24/7 dan memiliki perintah tembak bagi mereka yang kabur.

Pebisnis Alfine Fuad menunjukkan bagaimana ia 'menyelundupkan' keluarganya keluar dari Jerman Timur. (Chris Hoffman, Picture Alliance/Getty)

Memang banyak orang yang ingin melarikan diri. Mereka melakukannya dengan cara berisiko, misalnya melewati terowongan, balon udara, bahkan menyusup ke kereta. Antara 1961-1989, lebih dari 5.000 orang berhasil kabur. Namun, banyak juga yang kurang beruntung, sekitar 140 orang terbunuh saat berusaha melintasi tembok.

Selama bertahun-tahun, Tembok Berlin menjadi simbol kekejaman Perang Dingin. Namun, pada 1989, penduduk Jerman Timur habis kesabaran. Mereka melangsungkan demonstrasi massal yang menuntut demokrasi. Di satu sisi, blok Soviet juga sedang mengalami kesengsaraan ekonomi dan reformasi politik.

Baca Juga: Diserang Nazi, Raja Inggris Sembunyikan Mahkota Dalam Kaleng Biskuit

Pada 9 November 1989 malam, pemimpin Berlin Timur, Günter Schabowski, mengumumkan akan ada reformasi untuk menanggapi protes tersebut. Namun, banyak yang menganggap bahwa RDJ sebenarnya telah membuka perbatasan.

Saat orang-orang Berlin Timor menerobos gerbang perbatasan, puluhan ribu warga Berlin Barat menyambutnya dengan emosi dan perayaan yang luar biasa. Mereka merayakannya dengan sampanye, musik, dan air mata.

Selanjutnya, penduduk Berlin benar-benar meruntuhkan tembok dengan palu godam dan pahat. Kurang dari sebulan kemudian, RDJ benar-benar hancur dan pada 1990, Jerman kembali bersatu.