Nationalgeographic.co.id - “Sekarang kita enggak bisa lagi cuek. Sampah butuh perhatian kita. Selama ini, kita sudah bertahun-tahun selalu enggak peduli dengan lingkungan sekitar kita."
Jessica Hanafi mengingatkan kita yang hadir dalam ruangan tertutup itu. Perempuan yang memimpin Life Cycle Indonesia itu berupaya menyentil siapapun yang hadir untuk peduli terhadap permasalahan lingkungan sekitar, terutama sampah plastik.
"Jadi, hal yang paling mudah berawal dari diri sendiri. Sebelum kita memutuskan membeli, kita sudah berpikir, produk ini terbuat dari bahan apa, lalu bagaimana tahapan daur hidupnya, bagaimana potensi dampak yang muncul dari produk itu," Jessica mengingatkan. Ia berusaha menularkan pola pikir life cycle thinking sewaktu kita membeli produk, terutama yang berbahan baku plastik.
Sejak manusia menemukan plastik, kita seperti tak bisa melepaskan diri dari bahan polimer yang menjadi turunan dari minyak bumi itu. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dengan mudah menjumpai plastik. Jangankan botol minuman, wadah makanan atau pembungkus barang, pada bagian terkecil sebuah produk pun mengandung unsur plastik, seperti telepon genggam dan kacamata.
Plastik menjadi salah satu keajaiban peradaban manusia modern. Material yang mudah diproduksi, ringan dan kuat. Saking kuatnya, ia begitu tahan lama, sulit untuk terurai secara alami.
"Saya sudah tidak mau pakai kantong plasting atau kresek. Kalaupun terpaksa, saya pilih kantong yang bisa dipakai berkali-kali," ujar Agus Supriyanto, Kepala Seksi Bina Peritel Diretorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam sebuah perbincangan yang hangat.
Ia memberi contoh itu lantaran setuju dengan ucapan Jessica. "Ya, kita harus memulai langkah kecil, dari diri sendiri."