Mengapa Satwa Langka Rentan Punah? Berikut Penjelasan Peneliti

By National Geographic Indonesia, Jumat, 27 Desember 2019 | 11:54 WIB
Badak. (jacobeukman/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Kematian satwa langka begitu menyesakkan dada. Iman, badak Sumatra betina terakhir di Malaysia, akhirnya mati akhir November lalu setelah sekian lama mengidap kanker.

Iman adalah badak kedua yang mati karena kanker dalam beberapa tahun belakangan, setelah Puntung, badak Sumatra betina di Sabah, yang harus disuntik mati karena kanker juga.

Kanker hanyalah satu dari banyak kelainan sel mematikan yang muncul akibat mutasi yang bersifat merusak fungsi sel dalam populasi satwa liar. Kelainan bentuk wajah dan alat gerak atau tulang belakang, juga dapat menurunkan peluang hidup satwa terancam punah.

Baca Juga: Peneliti: Hutan Amazon Sedang Mengalami 'Kerusakan Fungsional'

Selain translokasi (pemindahan satwa ke habitat yang layak) dan penangkaran, teknologi modifikasi genom dapat mengatasi masalah penyakit genetik pada satwa liar. Meski peluang teknologi genomik tampak menjanjikan, riset lebih dalam diperlukan untuk memahami dinamika genom makhluk hidup dan mengumpulkan lebih banyak bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.

Penyebab kepunahan

Selain perburuan ilegal, banyak penyakit genetik mematikan yang dapat menyebabkan kepunahan pada satwa liar yang terlanjur memiliki populasi berukuran kecil. Kurangnya alternatif pasangan kawin baik di alam maupun penangkaran meningkatkan kecenderungan perkawinan sekerabat. Karena kerabat cenderung memiliki komposisi genetik serupa, perkawinan sekerabat menurunkan variasi genetik yang diperlukan untuk memperluas spektrum kerja sistem imun tubuh.

Terakumulasinya mutasi berbahaya akibat perkawinan sekerabat juga dapat menurunkan tingkat harapan hidup suatu populasi. Bagaimana ini bisa terjadi?

Untuk sebagian besar hewan bertulang belakang, termasuk manusia, fungsi tubuh sangat bergantung kepada gen-gen yang membawa informasi yang diperlukan untuk menjaga sel tetap sehat. Gen biasanya memiliki dua salinan di dalam sel, dan setiap salinan dapat memiliki variasi. Variasi dalam salinan gen ini disebut alel.

Alel-alel ini dapat mengalami mutasi yang merusak fungsi sel. Ketika satu salinan mengalami mutasi dan salinan lain tidak, gen tersebut biasanya masih dapat berfungsi. Ketika perkawinan sekerabat terjadi, peluang bertemunya dua salinan yang membawa mutasi yang mengganggu fungsi gen semakin besar.

Mutasi berbahaya

Mutasi-mutasi gen yang merusak biasanya dapat terkumpul dalam suatu populasi karena tidak berhasil dieleminasi oleh seleksi alam. Seleksi alam tidak dapat bekerja karena fungsi tubuh tidak langsung terganggu. Dengan demikian, mutasi tersebut berpeluang besar diturunkan ke generasi selanjutnya. Jika tidak ada variasi baru dan perkawinan sekerabat terus terjadi, mutasi-mutasi berbahaya ini dapat terkumpul sampai taraf yang mematikan.

Analisis terhadap genom mammoth berbulu (Mammuthus primigenius), kerabat gajah yang sudah punah pada Zaman Es, menunjukkan bahwa individu terakhir spesies ini menyimpan banyak mutasi berbahaya sebelum akhirnya mati.

Analisis genomik terhadap hewan-hewan terancam punah semisal cheetah Afrika (Acinonyx jubatus), serigala abu-abu (Canis lupus), dan burung ibis endemik Jepang (Nipponia nippon) juga menunjukkan tren yang serupa.