Sebuah Cerita di Sepenggal Pesisir Utara Jawa

By National Geographic Indonesia, Selasa, 28 Januari 2020 | 19:40 WIB
Dua orang pedagang berjalan di landmark Kota Bekasi. (Zulkifli)

 

Nationalgeographic.co.id— Jalur pantai utara Jawa banyak menyimpan cerita, terutama yang berkaitan dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakatnya. Sejak pembangunan Jalan Raya Pos yang selesai pada dua abad silam, kehidupan sosial dan ekonomi kota-kota yang dilaluinya kian berdenyut. Setelah Revolusi Industri di Eropa, jalur kereta api pun turut menghubungkan kota-kota pesisir utara Jawa pada akhir abad ke-19. Kini, Jalan Raya Pos dan jalur kereta api telah melahirkan kota-kota pusat perekonomian baru.

Tim National Geographic Indonesia menjelajahi kota-kota di pesisir utara Jawa pada November silam. Ekspedisi Pesisir Utara Jawa bertujuan menyaksikan perjalanan riwayat kota-kota itu dan perkembangannya hingga hari ini. Perjalanan jurnalistik ini menghimpun cerita tentang alam, budaya, ekonomi, dan sosok inspiratif yang menghidupkan karakter kota.

Ekspedisi ini menggunakan dua moda kendaraan. Dua sepeda motor Royal Enfield, yang berpadu bersama dua kendaraan berpenggerak empat roda, Nissan Terra. Tim memulai perjalanan dari kantor redaksi National Geographic Indonesia di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Persinggahan pertama adalah Bekasi. “Bekasi” tulis Pramoedya Ananta Toer, “adalah kota yang berbekas di hati. Kota yang membekasi”. Kalimat lirik itu ia ketik pada babak pembuka novel Di Tepi Kali Bekasi. Kota ini pernah menajdi lumbung padi untuk Batavia dan tumbuh pesat sejak pembangunan jalur kereta Batavia-Bekasi pada akhir abad ke-19. Landhuis keluarga Mayor Cina Khouw Tjeng Kee di Tambun, menjadi tengara perkembangan Bekasi. Khow dikenal sebagai pemilik tanah-tanah partikelir di Tambun hingga awal abad ke-20.

Kini, vila tua bergaya Art-Deco ini muncul sebagai penanda yang menautkan kawasan pertanian dan pembangunan rel kereta api. Bukan kebetulan apabila lokasinya berada di belakang Stasiun Tambun, ruas Batavia-Cirebon.

Gemuruh roda-roda kereta api menjadi bagian kehidupan Tambun. Roda-roda kereta api mulai menggelinding di Jawa sejak Agustus 1867 di Semarang. Namun, jalur kereta api Batavia–Bekasi baru selesai dibangun oleh Bataviasche Oosterspoorweg Maatschappij (BOS) pada dua dekade kemudian, yakni 1887. Kelak, Staatsspoorwegen memulai membangun jalur kereta Bekasi-Cikampek padai 1902.

Menyusuri jalan antarkota mungkin akan memberikan rasa perjalanan yang berbeda ketimbang melaju di jalan tol. (Aga Akbel Pratama)

Di Pulau Jawa, pembukaan jalur kereta api merupakan respons atas kebutuhan moda pengakutan komoditi yang lebih aman dan efisien. Hasil pertanian dan perkebunan itu diangkut menuju pelabuhan.

Setelah misi pengangkutan barang, belakangan kereta api juga diarahkan untuk kebutuhan militer dan penumpang. Daerah-daerah kantong perkebunan dan pertanian pun turut menikmati modernitas. Boleh dikata, melajunya kereta api turut mendorong laju ekonomi bagi daerah-daerah yang disinggahinya.

Kami singgah di sebuah monumen yang bertalian dengan sejarah kereta api kita. Sebuah kereta api dari arah Jakarta itu membawa tentara Jepang yang telah menyerah. Namun, di Stasiun Bekasi mereka dihentikan oleh TKR. Kemudian mereka dibantai di Kali Bekasi. Monumen Kali Bekasi dibangun untuk mengenang 90 tentara Jepang yang dibantai pada 19 Oktober 1945. Kini, warga Jepang dan Indonesia kerap mengunjunginya sebagai perziarahan.

Nisan Terra menembus kedalaman seruas jalan yang dikekalkan oleh puisi Chairil Anwar: Karawang-Bekasi. Sepanjang jalan yang tak seluruhnya mulus itu seolah mengumandangkan kata-kata sang penyair, “Kenang, kenanglah kami . Teruskan, teruskan jiwa kami.”