Sebuah Cerita di Sepenggal Pesisir Utara Jawa

By National Geographic Indonesia, Selasa, 28 Januari 2020 | 19:40 WIB
Dua orang pedagang berjalan di landmark Kota Bekasi. (Zulkifli)

Kami tiba di salah satu sudut Fort Beschermer. Namanya bermakna Sang Pelindung. Dibangun sebagai kantor dagang pada 1753 di tepian sungai kawasan muara. Ketika itu Pekalongan menjadi pemasok kayu dan beras bagi Batavia. Pintu utamanya berada di sisi selatan, menghadap bantaran sungai. Warga menjuluki sungai itu sebagai "Kali Loji", merujuk bangunan besar di tepian sungai. Kini Fort Beschermer berfungsi sebagai rumah tahanan.

Pekalongan juga menyimpan cerita tentang tokoh pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara pernah mencecap rasa Strafgevangenis—atau penjara di kota ini. Cukup beralasan apabila kota ini memiliki seruas jalan yang mengabadikan namanya. Namun, di tempat kelahirannya sendiri, Kota Yogyakarta, tak seruas jalan pun yang mengabadikan namanya.

Kediaman Residen Pekalongan, yang dibangun sekitar pertengahan abad ke-19 di tepian Jalan Raya Pos. Kini bangunan ini digunakan sebagai salah aset sejarah milik pemerintah kota. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Semarang. Kami menyinggahi tengara kota sekaligus peradaban kereta: Kantor Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij. Inilah kantor perusahaan kereta api paling awal yang kelak turut mengubah wajah peradaban pesisir dan pedalaman Jawa.

Kota ini merupakan awal dari pembangunan jaringan rel kereta api di Hindia Belanda. Pada 1864, pembangunan jalan kereta bermula dengan rute Stasiun Semarang—Stasiun Tanggung sejauh 25 kilometer. Peresmian digelar pada 1867, yang mengawali cerita kereta kita. Sejarah kereta api telah mendekatkan kota-kota pesisir untuk saling berlomba demi meraih kemajuannya.

Perjalanan adalah soal menjangkau jarak. Perjalanan berkendara ini mendekatkan antara kami dan kota. Kami membaca tentang manusia, geliat pembangunan, dan denyut pelestarian tengara-tengara kota pesisir utara Jawa.

Kendaraan nan prima menjadi bagian terpenting dalam perjalanan ini. Faisal Anwari Lubis, salah seorang tim ekspedisi di balik kemudi Nissan Terra, berkata, “Sesuai dengan apa yang saya bayangkan, dengan bobot yang gede, mobil ini membuat saya merasa gagah saat mengendarainya. Jalanan apapun dapat di babat habis.”

Dia juga menambahkan, “Satu hal yang paling saya sukai dengan body-nya yang kokoh dan berotot ini,” ungkap Faisal, “saya merasakan sensasi seakan saya sedang mengendari mobil bergaya american muscle yang menambah percaya diri dan membuat saya seperti raja di jalanan.”

Kubah Gereja Blenduk terlihat dari jendela lantai dua Gedung Spiegel Semarang. (Zulkifli)