Elegi Hutan Mangrove tentang Retaknya Hubungan Manusia dan Alam

By Daniel Kurniawan, Kamis, 1 Oktober 2020 | 20:39 WIB
Senja di Taman Pendidikan Bakau Labuhan. (Agoes Rudianto)

Nationalgeographic.co.id—Pepohonan mangrove yang tumbuh bergandengan di tepi laut menghiasi berbagai pantai tropis di Bumi. Hutan ini menjadi rumah beragam satwa liar, melindungi lebih dari 3.000 spesies ikan.

Hutan mangrove mampu menyerap hingga sepuluh kali lipat polusi karbon per hektar dibandingkan hutan hujan, hingga menjadikannya pemain penting dalam menahan laju perubahan iklim.

Akar mangrove juga membantu menjangkar garis pantai di seluruh dunia, melindungi pantai dari dampak gelombang badai yang dahsyat,  jauh lebih efektif daripada dinding beton di tepian laut.

Terlepas dari semua manfaat ini, hutan mangrove cenderung tak punya nilai di mata banyak orang . Pertumbuhan eksplosif dari budidaya udang, perluasan kota, perubahan iklim dan aspek-aspek lain dari pembangunan ekonomi mengurangi hutan bakau seluas 35% antara tahun 1980 dan 2000. Sebelas dari sekitar 70 spesies bakau terancam punah.

Baca Juga: Jadi Sandaran Hidup, Mangrove Semanting Beri Ketersediaan Sumber Daya

Pohon mangrove berlatar panorama Jembatan Suramadu, Selat Madura, Jawa Timur. (Imam Primarhardy)

Hutan mangrove dan kekayaan alam menawarkan nilai bagi manusia tanpa biaya. Setiap tahun, lingkungan menyediakan sekitar USD125 triliun layanan gratis, misalnya penyerbukan, penyaringan air, produksi oksigen, dan perlindungan terhadap banjir.

Jika boleh diibaratkan, planet ini seperti rekening bank di mana setiap makhluk hidup membayar dalam bentuk deposito. Celakanya, manusia adalah satu-satunya spesies yang terus menarik dana. Penggunaan sumber daya alam kita yang berlebihan menghabiskan biaya USD6 triliun setiap tahun. Pada 2050, biaya-biaya itu bisa naik menjadi USD28 triliun.

Selama seabad terakhir, kita menjadi tidak seimbang dengan alam. Saat ini, 96 persen mamalia adalah manusia dan hewan ternak kita. Hanya 4 persen  untuk mamalia lain—gajah, harimau, hingga panda. Sebesar 70 perseb burung adalah unggas peliharaan, yang mayoritas adalah ayam. Di lautan, 90 persen dari ikan besar—seperti hiu, tuna, sampai ikan kod—telah hilang dalam seratus tahun terakhir. Dan 40 persen spesies serangga di dunia kini juga terancam punah.

Baca Juga: Lebih Dari 50% Hutan Mangrove di Indonesia Hilang, Apa Penyebabnya?

Akar nafas pohon mangrove yang menyembul ke permukaan. Fungsi akar ini nantinya akan memperkuat tana (Lutfi Fauziah)

Pada 2019, PBB melaporkan bahwa sekitar satu juta spesies hewan dan tumbuhan terancam punah, banyak di antaranya dalam dekade terakhir ini. Manusia seakan menjadi asteroid modern yang membunuh dinosaurus dan menyebabkan kepunahan massal.

Sebuah laporan baru oleh World Economic Forum bekerja sama dengan PWC menilai 163 sektor industri dan rantai pasokannya yang berdampak terhadap keanekaragaman hayati. Pendorong terbesar hilangnya keanekaragaman hayati di darat adalah pertanian dan peternakan. Di lautan, manusia mengambil ikan dari air lebih cepat dari yang dapat mereka reproduksi. Saat ini 63 persen stok ikan mengalami penangkapan ikan berlebihan. Ketika populasi dunia terus tumbuh, kita harus mencari cara untuk menghasilkan lebih banyak makanan tanpa merusak ekosistem planet ini.

Kita perlu mengisi kembali rekening tabungan kita. Saat ini, hanya 7 persen dari laut yang ditunjuk atau direncanakan sebagai kawasan terlindungi. Namun, pada kenyataannya, hanya 2,4 persen yang sepenuhnya dilindungi dari penangkapan ikan dan kegiatan lainnya. Di darat, hanya 15 persen tanah yang dilindungi. Berapa banyak lagi semesta yang perlu kita lindungi?

Baca Juga: Sekolah Mangrove, Bentuk Perjuangan Melestarikan Lingkungan di Pesisir Indramayu

Kelompok Jaka Kencana di Indramayu memanfaatkan aneka buah dan daun mangrove untuk sumber pangan alternatif. (Aulia Erlangga/National Geographic Indonesia)

Ilmu pengetahuan memberitahu kita. Jika kita ingin mencegah kepunahan massal dan keruntuhan sistem pendukung kehidupan kita, kita perlu menjaga setengah dari planet ini dalam keadaan alami. Tantangan bagi pemerintah di seluruh dunia untuk memulai dengan melindungi setidaknya 30 persen dari planet kita (tanah, air tawar, dan lautan) pada 2030.

Ada tanda-tanda bahwa kita bisa membalikkan keadaan. Vietnam telah kehilangan banyak hutan mangrove daripada negara manapun. Pemerintahnya melihat krisis, lalu menginvestasikan USD1,1 juta untuk memulihkan 12.000 hektar hutan mangrove. Infrastruktur alami ini menghemat USD7,3 juta setiap tahunnya dalam biaya pemeliharaan tanggul dan infrastruktur, serta pencegahan banjir lainnya.

Kisah sukses Vietnam memang terkenal. Namun, hutan mangrove di tempat lain kian menghilang atas nama pembangunan ekonomi yang tidak terkendali. Kita perlu lebih pintar tentang bagaimana kita mengolah tanah, belajar dari kesalahan masa lalu, sehingga kita dapat memiliki bumi yang sehat dan pasokan makanan yang sehat.

Hilangnya keanekaragaman hayati telah menjadi salah satu ancaman utama bagi peradaban kita. Kita harus memimpin orang lain yang “masih tertinggal” di masa lalu. Manusia tidak bisa puas dengan hanya duduk sementara ekosistem terhuyung-huyung di ambang kehancuran. Kita perlu berinvestasi dalam keanekaragaman hayati sebelum akun rekening kita masuk lebih ke dalam zona merah.

Baca Juga: Aksi Konservasi Bakau Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Bangkalan

Tajuk pohon mangrove yang dibiarkan rimbun, beberapa petambak memang membiarkan pohon-pohon mangrove (Lutfi Fauziah)