Nationalgeographic.co.id - Laporan investigasi terakhir di Cina menyatakan kasus wabah coronavirus Wuhan banyak terjadi pada laki laki dengan usia pasien berkisar 59 tahun.
Jarang dilaporkan kasus infeksi virus 2019 Novel Coronavirus (2019-nCov) pada anak di bawah 15 tahun. Hal ini mungkin karena memang anak-anak jarang terinfeksi oleh virus ini atau gejala pada anak sangat ringan sehingga tidak mencari pertolongan medis.
Kasus infeksi 2019-nCov yang parah biasanya ditemukan pada pasien dengan penyakit dasar penyerta sebelumnya seperti hipertensi, diabetes dan penyakit jantung-pembuluh darah
Namun, laporan terbaru pekan lalu menginformasikan bahwa seorang bayi di Wuhan, kota pusat penularan virus, terinfeksi virus ini hanya 30 jam setelah lahir. Ibu bayi ini dites positif terkena virus sebelum bayinya lahir. Jabang bayi ini kini kondisinya stabil dan menjalani perawatan intensif. Belum diketahui cara penularannya dalam kasus ini.
Baca Juga: Apa Jadinya Rupa Bumi Jika Seluruh Air di Planet Ini Mengering?
Secara global, per 9 Februari, wabah radang paru dari Wuhan ini telah menyebabkan lebih dari 37 ribu orang terinfeksi, dengan kematian 812 orang, mayoritas di Cina. Virus yang belum ada vaksin penangkalnya ini telah menyebar di 29 negara.
Meskipun kasus infeksi 2019-NCov ini telah terdeteksi sejak Desember 2019, masih banyak misteri yang belum terungkap mengenai virus strain baru, antara lain tingkat keparahan, bagaimana penularannya, sumber penularan, dan secepat apakah penyebarannya. Juga pertanyaan seberapa parahkah gejala yang ditimbulkan, berapa lama gejala penyakit ini muncul sampai dapat dideteksi, dan faktor risiko apa yang menyebabkan orang terinfeksi.
Keparahan penyakit
Menentukan keparahan yang ditimbulkan oleh penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus penyebab wabah tidak mudah. Hal ini karena kasus yang ditemukan atau dilaporkan adalah kasus yang berada di rumah sakit, sedangkan terdapat kemungkinan adanya kasus dengan gejala yang lebih ringan yang tidak mencari pertolongan medis.
Di lain pihak, terdapat kemungkinan adanya kematian yang tidak terdeteksi oleh petugas kesehatan.
Untuk kasus infeksi 2019-nCov yang banyak dilaporkan adalah kasus pneumonia atau radang paru. Dari 41 kasus pertama, sepertiganya harus masuk ke ruang perawatan intensif.
Bila dibandingkan dengan kasus SARS atau MERS, tingkat kematian yang ditimbulkan oleh infeksi 2019-nCov tidak sebanyak infeksi coronavirus penyebab SARS/MERS. Penyakit MERS menyebabkan 37 orang meninggal dari 100 kasus (sekitar 37% dari total kasus), SARS 11 dari 100 kasus (sekitar 11% dari jumlah kasus), sedangkan 2019-nCov untuk data saat ini menyebabkan kematian 2-3 orang dari 100 kasus (sekitar 2-3% dari seluruh kasus).
Ini artinya dari sisi dampak fatal, walau ketiga jenis virus itu dari keluarga yang sama, virus Wuhan lebih kecil dampaknya.
Dari sisi jumlah korban terinfeksi, kasus 2019-nCov ini jauh lebih tinggi dibanding wabah serupa sebelumnya. Wabah penyakit flu unta (MERS-Cov) ada 2.499 kasus di 27 negara hingga akhir Desember tahun lalu dan SARS-Cov ada lebih 8000 kasus di 26 negara pada 2003.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 30 Januari 2020 mendeklarasikan keadaan darurat kesehatan global atas kejadian wabah infeksi virus dari Wuhan ini. Artinya saat ini risiko yang ditimbulkan oleh virus ini sangat tinggi baik di Cina maupun seluruh dunia.
Lama inkubasi hingga dapat dideteksi
Mengetahui inkubasi penyakit–waktu dari seseorang terinfeksi hingga munculnya gejala penyakit–amat penting untuk menegakkan diagnosis (tanya jawab dengan pasien, pemeriksaan tubuh, uji laboratorium) dan mendeteksi adanya penyakit. Hal ini akan menentukan pengendalian penyebaran penyakit.
Pada saat ini, kriteria diagnosis dugaan terinfeksi virus 2019-nCov adalah pasien dengan gejala demam atau gejala penyakit pernafasan lainnya (batuk, sulit bernafas), terutama bagi seseorang yang tinggal atau telah melakukan perjalanan ke Wuhan atau daratan Cina lainnya dalam 14 hari terakhir. Gejala penyakit ini sama dengan gejala pneumonia biasa, tapi ada variabel tambahan riwayat perjalanan ke Wuhan.
Penyakit infeksi virus saluran pernapasan tersebut bisa menular dari pasien yang telah menunjukkan gejala klinis (simptomatik) menyerupai SARS, atau sebelum pasien menunjukkan gejala (influenza).
Sebagian pasien (33%) bahkan menunjukkan adanya penyakit komplikasi seperti syok septik (tekanan darah yang sangat rendah sehingga tidak mendapat asupan darah dan oksigen karena infeksi di seluruh tubuh), cedera ginjal akut, cedera jantung, dan beberapa infeksi sekunder (10%).
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat memperkirakan masa inkubasi untuk kasus infeksi 2019-nCoV adalah antara 2-14 hari.
Namun hingga saat ini belum jelas apakah penularan 2019-nCoV bisa terjadi pada saat pasien belum menunjukkan gejala. Laporan terakhir dari kasus 2019 NCov di Jerman menunjukkan indikasi adanya penularan dari kasus tanpa gejala atau asimptomatik.
Dinamika penyebaran
Meskipun pada kasus-kasus awal 2019-nCov mengindikasikan penularan pada manusia berkaitan dengan kontak dengan pasar hewan di Wuhan, penyelidikan epidemiologi 425 kasus pneumonia yang disebabkan oleh virus ini mengindikasikan kasus transmisi manusia ke manusia telah terjadi pada kasus yang muncul beberapa minggu terakhir.
Berdasarkan hasil investigasi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Cina dan kantor kesehatan lokal, penyebaran dari manusia ke manusia terjadi melalui kontak dekat dengan pasien.
Selain berdasarkan hasil riset tersebut, kasus yang mengindikasikan transmisi dari manusia ke manusia juga dilaporkan dari hasil penyelidikan kluster kasus keluarga setelah mengunjungi Wuhan: satu anggota keluarga yang tidak ikut berpergian menjadi terinfeksi setelah kontak beberapa hari dengan anggota keluarga yang sakit.
Sebuah riset memperkirakan satu orang terinfeksi 2019-nCoV bisa menulari 2,2 orang lainnya, sedangkan Maimuna Majumder dan koleganya dari Universitas Harvard memperkirakan satu orang menularkan kepada 2-3 orang.
Angka ini dianggap serupa dengan penularan kasus SARS sebelumnya, mengingat virus saluran pernapasan bisa menyebar melalui udara dan kontak dekat dengan penderita saat batuk, bersin, dan berbicara.
Sumber penularan: belum ada kesimpulan
Pneumonia yang disebabkan oleh 2019-nCoV disebabkan oleh strain baru coronavirus, termasuk dalam genus betacoronavirus sebagaimana virus penyebab SARS dan MERS, biasa dijumpai pada hewan antara lain kelelawar dan hewan liar lainnya.
Secara genetik, 2019-nCoV ini mirip dengan coronavirus dari kelelawar (96,2% tingkat kemiripan), sedangkan SARS-CoV kemiripannya sekitar 79,5%. Sehingga dugaan terkuat yang menjadi inang virus tersebut adalah kelelawar.
Baca Juga: Kekebalan Tubuh 'Memudar', Orang Dewasa Ternyata Juga Butuh Vaksinasi
Berdasarkan laporan investigasi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Cina, kasus awal diduga disebabkan oleh infeksi dari hewan kelelawar (zoonosis) dan menular melalui paparan lingkungan di sekitar pasar hewan laut basah Hunan di Wuhan sebagai perantara.
Namun sampai kini belum ada bukti kuat mengenai hal ini dan bagaimana mekanismenya, apakah karena mengkonsumsi hewan atau berhubungan fisik dengan hewan tersebut.
Kondisi pasar di Cina yang menjual berbagai macam daging baik daging ternak atau hewan liar, termasuk kelelawar, berang-berang dan ular, sebagaimana kasus SARS sebelumnya, diduga sebagai sumber awal virus 2019-nCov.
Riset lanjutan
Mengingat masih banyak misteri dan pertanyaan yang belum terungkap mengenai 2019-nCov, peneliti di berbagai bidang yang berkaitan dengan penyakit infeksi yang sedang terjadi di seluruh dunia telah dan masih berusaha untuk menemukan jawabannya melalui riset dan investigasi secara komprehensif.
Penulis: Krisna Nur Andriana Pangesti, Researcher at Virology Laboratory, National Institute of Health Research and Development (NIHRD), Ministry of Health Indonesia dan Hana A Pawestri, Researcher at Virology Laboratory, National Institute of Health Research and Development (NIHRD), Ministry of Health Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.