Dampak Krisis Iklim: Mengganggu Pembangkit Listrik Indonesia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 20 Februari 2020 | 11:34 WIB
Limbah batubara yang menguap dibuang oleh pabrik. (Lutfi Fauziah)

Nationalgeographic.co.id - Krisis iklim secara global memiliki dampak bagi seluruh elemen kehidupan di dunia, seperti alam, lingkungan, bahkan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. 

Sebuah penelitian menemukan fakta bahwa cuaca buruk dari krisis iklim mampu menghambat produksi hingga konsumsi listrik di Indonesia. Hal ini memiliki dampak sosial pada konsumen listrik di Indonesia.

Kamia Handayani, penulis utama laporan tersebut sekaligus peneliti dari Departemen Tata Kelola dan Teknologi untuk Keberlanjutan (CSTM) Universitas Twente, menyatakan: “Penelitian kami menemukan cuaca buruk dan krisis iklim menghambat rantai suplai listrik, termasuk pembangkitan listrik, transmisi, dan distribusi tenaga listrik, yang akhirnya mempengaruhi operasi PLN dan para konsumen listrik di Indonesia.”

Baca Juga: Januari 2020, Bumi Mengalami Peningkatan Suhu Tertinggi Dalam Sejarah

Dalam penemuannya, Handayani bersama para peneliti lain, menyebutkan ada 3 kategori keadaan cuaca ekstrem yang menghambat pembangkit listrik di Indonesia, yaitu angin kencang dan hujan deras, kenaikan suhu air laut dan cuaca panas, serta kekeringan dan sambaran petir.

Melalui kajian sejumlah penelitian seperti kajian lapangan, wawancara, dan diskusi grup yang diadakan pada 2018, serta dilengkapi dengan laporan internal Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan publikasi terkait sektor energi, para peneliti menyebutkan bahwa angin kencang disertai hujan deras merupakan ancaman signifikan terhadap distribusi listrik.

“Kejadian angin kencang dan hujan deras ini menyebabkan 95% pemadaman listrik pada 2014 hingga 2015, di wilayah Jawa-Bali,” kata Handayani dalam artikel laporannya. “Angin kencang dapat menumbangkan pohon, papan reklame, dan mengenai jaringan distribusi tenaga listrik sehingga menyebabkan pemadaman listrik.”

Ia menambahkan, hujan deras mengakibatkan fasilitas pembangkit dan transmisi tenaga listrik menjadi berisiko terkena banjir yang berakibat pemadaman listrik darurat.

“Sebagai contoh, peristiwa banjir besar di pesisir utara Jakarta pada Januari 2013 memaksa pembangkit listrik tenaga gas di Muara Karang untuk berhenti beroperasi selama 12 hari,” ujarnya.

Akibatnya, dampak dari cuaca ekstrem dari krisis iklim tersebut mengakibatkan kerugian pada ekonomi negara sebesar Rp204 miliar.

Hujan deras menimbulkan petir pada kondisi hujan semakin lebat. Petir-petir mampu menyambar ke pembangkit listrik mana pun. Akibatnya, sejumlah alat menjadi rusak dan berujung pada kegagalan produksi hingga pemasok listrik.

Handayani menuliskan: “Pada tahun 2011-2017, PLN mencatat terdapat 107 insiden sambaran petir yang menyebabkan pemadaman di jaringan transmisi Jawa-Bali.”

Hujan deras dan kenaikan suhu air laut juga mengakibatkan pembangkit batu bara dan gas berisiko terhambat. Kondisi hujan deras mampu membuat batubara menjadi lembap dan lengket sehingga menurunkan efisiensi produksi tenaga listrik. Sedangkan kenaikan suhu air laut berimbas pada proses pendinginan pembangkit listrik.

Pada bulan April 2016, Handayani menuliskan perubahan suhu air laut mengakibatkan ubur-ubur yang bermigrasi dari perairan Australia yang lebih dingin menyerbu kawasan Laut Jawa dan masuk ke sistem pendingin pembangkit listrik.

Cuaca panas juga memengaruhi efisiensi pembangkit listrik tenaga gas yang mengakibatkan kurangnya udara sebagai elemen pembantu pembakaran gas alam.

Perubahan iklim juga mengakibatkan kekeringan di sejumlah tempat, terutama yang menjadi lokasi pembangkit listrik tenaga air. 

“Kekeringan yang terjadi di tahun 2011 menurunkan produksi listrik yang dihasilkan PLTA Saguling dan PLTA Cirata, keduanya berlokasi di Jawa Barat, dan diperkirakan kerugian finansial mencapai nilai USD 51.5 juta (sekitar Rp 703 miliar),” tulis Handayani.

Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa peristiwa perubahan cuaca secara ekstrem telah menyebabkan pemadaman listrik yang meluas dan mengakibatkan kerugian ekonomi yang luar biasa bagi konsumsi listrik.

“Namun, analisis kerentanan sektor listrik Indonesia terhadap perubahan iklim masih kurang secara nasional. Mengingat peran penting sektor ini dalam memenuhi tujuan elektrifikasi dan mitigasi perubahan iklim, negara tersebut harus meningkatkan ketahanan sektor tersebut terhadap perubahan iklim,” tulis Handayani dan para peneliti lainnya dalam makalah laporan penelitian yang diterbitkan 24 September 2019.

Baca Juga: Bagaimana Dampak Perubahan Iklim Pada Wilayah Kutub dan Tropis?

Handayani juga menyarankan pemerintah agar memiliki strategi untuk mengurangi emisi karbon seiring dengan memastikan sektor listrik yang tahan dengan krisis iklim. Selain itu penting pula bagi pemerintah meningkatkan kesadaran pemilik sektor tenaga listrik mengenai konsekuensi perubahan iklim pada kegiatan operasi listrik.

“Strategi tersebut perlu dimasukkan ke dalam National Action Plan for Climate Change Adaptation (Rencana Aksi Nasional untuk Adaptasi Perubahan Iklim) Indonesia, yang sudah dipublikasikan pada tahun 2012,” tulisnya.