Nationalgeographic.co.id - Aksi massal untuk perubahan iklim telah mencapai intensitas yang baru: ribuan pelajar bolos sekolah demi memprotes dan gerakan yang bernama Extinction Rebellion (harafiah: perlawanan terhadap kepunahan) membuat lumpuh kota-kota besar di seluruh dunia dengan aksi mereka.
Tentu saja, aksi dan protes semacam ini penting dalam mendorong perubahan. Namun, pergerakan ini bisa menjadi salah satu kunci untuk menciptakan masa depan tanpa emisi karbon. Dengan bantuan inovasi sosial, ide-ide baru yang selaras dengan kebutuhan sosial bisa berkembang.
Terakhir kali isu perubahan iklim menjadi sangat penting adalah saat Kyoto tahun 1997. Lalu, isu itu muncul kembali dalam perbincangan pada pertengahan tahun 2000. Saat itu, sebagian besar penekanan adalah pada target penurunan emisi dan perjanjian di satu sisi, serta dana untuk penelitian bagi teknologi ramah lingkungan pada sisi lainnya.
Baca Juga: Mengapa Hewan Laut Kerap Memakan Plastik?
Kini, mulai ada pemahaman lebih baik bahwa apabila keseluruhan tindakan tersebut tidak digabungkan dengan inovasi sosial dengan pendekatan dari bawah-ke-atas (bottom-up), maka tidak akan ada perubahan.
Alasannya adalah bahwa penurunan emisi karbon juga bergantung pada perubahan norma dan perilaku sosial, tidak hanya teknologi, contohnya pemilihan makanan lokal atau pengurangan fast fashion (pakaian yang dijual secara retail dan murah).
Alasan lain, untuk menunjukkan kepada para skeptis perubahan iklim bahwa kenaikan harga bensin atau menyusutnya industri ekstraktif, seperti penambangan batubara tidak sepenuhnya akan merugikan manusia.
Sebaliknya, ekonomi rendah emisi karbon bisa membuka peluang pekerjaan, misalnya dalam bidang perbaikan atau daur ulang limbah elektronik.
Namun, hal ini membutuhkan pendekatan inovasi yang berbeda. Investasi untuk teknologi baru harus sesuai dengan investasi sosial masyarakat. Sayangnya, dalam satu abad terakhir, hanya investasi teknologi saja yang mendominasi untuk isu perubahan iklim.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terjadi perubahan besar dalam institusionalisasi ilmu pengetahuan. Awalnya, ilmu pengetahuan hanya melayani kebutuhan militer (membuat kapal perang atau senjata) atau hanya untuk para amatir yang antusias dengan pengetahuan, kini menjadi lebih sistematis.
Pemerintah AS telah menginvestasikan banyak uang, dengan pertumbuhan lebih dari 50%, untuk laboratorium penelitian dan universitas, sekaligus alokasi untuk teknologi militer.
Perusahaan-perusahaan besar berlomba-lomba mendirikan laboratorium untuk litbang, meningkatkan porsi pendapatan domestik bruto (PDB) menjadi sekitar 2%, seperti di Inggris dan hampir 4% di Korea dan Finlandia. Hasilnya, mereka berhasil menciptakan teknologi-teknologi baru yang mengubah setiap aspek kehidupan manusia.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR