Geliat Rumah Jamu Marie Parakan Menjaga Warisan Jamu Nusantara

By Agni Malagina, Rabu, 4 Maret 2020 | 10:42 WIB
Nyah Marie memulai kreasi jamu seduh menjadi jamu serbuk dengan kemasan bungkus kertas . (Sigit Pamungkas)

“Kalau lagi rajin, dihias dengan motif jahitan ‘untu walang’, tapi kebanyakan polos,”ujar Rudi sambil memperlihatkan kotang buatan istrinya.

Kotang atau BH tradisional Jawa yang dijahit oleh istri pemilik Toko Jamu Marie. (Sigit Pamungkas)

“Nyah Marie, kelahiran 1907. Mulai umur 16 tahun sudah kerja jamu. Nah ini tahun 1923. Beberapa tahun kemudian mulai membuat bubuk. Asalnya jamu rebusan lalu jadi seduh,” Rudi mulai berkisah.  Setelah Nyah Marie atau Souw Marie Nio meninggal dunia pada tahun 1989, Rudi dan istrinya Novita Lukita melanjutkan usaha jamu rintisan nenek canggah (Be Kaci),  buyut, nenek dan Nyah Marie yang berjaya pada era 50, 60, 70, sampai tahun 1990an.

Sedari awal, keluarga leluhurnya meramu jamu dari bahan-bahan alami lokal. Namun semakin sulitnya bahan lokal di Parakan, maka Rudi mendatangkan bahan baku dari wilayah lain bahkan dari luar negeri.

“Sekarang ini, kencur terpaksa impor karena produk lokal mahal. Beberapa lokalan seperti temulawak, kunir, temugiring. Yang impor dari Cina ada beberapa seperti kayu legi (manis Cina), klabet, dan habatus sauda,”terang Rudi menjelaskan beberapa jenis bahan-bahan jamu yang paling sering ia gunakan.

Beberapa resep jamu produksi rumah jamu Nyah Marie seperti jamu untuk orang tua (biasanya digunakan untuk pengurang pegal linu), resep jamu untuk wanita menyusui dan bayi (anaknya), serta resep jamu untuk remaja putri. Rudi biasanya meracik jamunya selama 10 hari dengan menggunakan 10 kg bahan jamu untuk 1 resep jamu.

Baca Juga: Peristirahatan Terakhir Bagi Sang Kapitan Cina Terakhir di Palembang

“Jenis jamunya ada beberapa, jamu orang tua untuk orang tua usia 45 tahun ke atas, jamu dewasa untuk orang usia 45 tahun ke bawah. Juga ada jamu remaja. Dulu remaja putri kalau haid pertama pasti datang ke toko jamu diantar ibunya untuk minum jamu. Juga ada galian singset,”ujar Rudi menjelaskan varian jamu di tokonya berupa kemasan kertas lipat berukuran sekitar 3x4 cm. 

“Ini jamu pasti ramai kalau musim mbako,”ujar Rudi yang juga merupakan pedagang tembakau di Parakan – Temanggung. Ia mengungkapkan bahwa pada masa jaya Parakan sebagai pusat perdagangan tembakau mendatangkan keuntungan bagi keluarganya yang membuka toko jamu. Parakan memiliki beberapa toko jamu yang masih beroperasi hingga saat ini yaitu Jamu Marie, Jamu Nyah m(Bie), Jamu Jolali yang berada di sekitar jalan Brigjen Katamso dan jalan Gambiran.

Mulia, anak pertama pemilik Toko Jamu Marie tengah melakukan sembahyang leluhur yang mendirikan toko jamu. (Sigit Pamungkas)

“Dulu ada beberapa yang usaha jamu juga, Nyah Jeng Ge (Cengke), Nyah Mbie, dan Nyah Mrico. Nah Nyah Mrico sudah tidak ada,”ujar Rudi.

“Masa jaya mbako ya peredaran uang banyak sekali di Parakan ini. Mbako dari gunung-gunung, pasarnya di Parakan. Dulu ini jalan namanya Handle Straat atau jalan perdagangan,”ujar Rudi menggambarkan ramainya pembeli jamu Nyah Marie di masa lalu pada saat musim panen tembakau. Berangsur, keramaian peminum jamu pun berkurang walaupun Parakan tetap ramai sebagai gudangnya tembakau terbaik di Pulau Jawa.