Nationalgeographic.co.id - Parakan, sebuah kota kecil kaki Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing di Kabupaten Temanggung. Kota yang tumbuh menjadi besar pada abad 19 ini memiliki sejumlah kisah lokal mulai dari asal-usul kota tembakau, perjuangan warga Jawa Cina melawan VOC dan pemerintah Hindia Belanda, sampai kisah persahabatan antaretnis yang masih terekam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kota seluas 2.223 hektar ini.
Kota kecil ini terkenal dengan julukan kota tembakau. Tak heran, sejumlah perusahaan produsen rokok ternama di Indonesia memiliki gudang sampai jaringan pengepul tembakau di kota kecil ini. Pusat perdagangan Parakan lekat dengan gambar toko-toko lawas yang terletak di sepanjang jalan Aip Mungkar, jalan Brigjen Katamso dan sekitarnya. Area ini pun kerap dijuluki kawasan pecinan Parakan. Sejatinya, tak hanya masyarkat Cina Parakan saja yang tinggal di area tersebut, terdapat juga masyarakat Jawa yang sejak awal telah bermukim di kawasan tersebut. Tak sedikit dari masyarakat Jawa yang menikah dengan orang-orang Cina Parakan yang telah bermukim di wilayah tersebut setidaknya sejak akhir abad 18.
Jika jalan Aip Mungkar adalah kawasan perdagangan yang terdiri dari toko-toko lawas berarsitektur kolonial, art deco dan modern, maka kawasan sekitar jalan Brigjen Katamso, jalan Gambiran, jalan Bambu Runcing merupakan kawasan rumah tinggal dengan jenis-jenis bangunan beragam mulai dari bangunan Cina Klasik dengan atap pelana, hingga bangunan berlanggam Cina Hindia. Kawasan ini masih tampak asri walaupun sudah banyak bangunan-bangunan baru yang menggantikan rumah-rumah lama.
Baca Juga: Kisah Rumah Letnan Tan Soe Kie di Pecinan Senggarang Tanjungpinang
Seperti biasa, saya gemar menyusuri jalan-jalan di kawasan pecinan. Entah itu gang, entah jalan pasar atau pun jalan-jalan pusat perniagaan. Biasanya saya menemukan satu dua toko yang merupakan tempat zona nyaman saya mulai menggali cerita. Cerita dari orang-orang pemilik toko kecil yang memperdagangkan alat sembahyang, hio, dan alat-alat kematian. Di tempat seperti itulah saya paling sering mendapatkan cerita perubahan sebuah kota, gosip jalanan, hingga kisah tragis atau romantis di kawasan pecinan.
Ya, saya mampir ke sebuah toko ‘jadul’ yang bernama Toko Santoso Jaya di Jalan Brigjen Katamso. Toko kecil itu tampak selalu dikunjungi pembeli. Pemiliknya, tiga oma bersaudara (Mak Kiyung, Mak Liyun, Mak Tung) yang dikomandoi oleh Mak Kiyung. Ia banyak bercerita tentang kota Parakan di masa mudanya. Wanita renta berusia 70 tahun ini masih gesit melayani tamu sambil bercerita tentang orang-orang terkenal di Parakan. Sesekali saya cerewet bertanya tentang barang-barang yang terdapat di toko itu, termasuk saya bertanya apakah tokonya menjual Anggur Merah cap Orang Tua.
“Ndak jual di sini, mungkin di depan jual to,”ujar Mak Yung menunjuk ke toko seberang jalan – Toko Jamu Marie. Aha! Toko itu sempat saya lewati beberapa kali dan memang cukup ‘eye catching’ karena area tokonya melebar dan memiliki meja altar di depan pintu masuknya yang terbuat dari kayu solid.
Saya disambut oleh Mulia Toyomas (24) dan Rudiyhianto Somawiharja (Souw Siang Hian, 62). Anak dan bapak ini begitu antusiasnya berkisah tentang asal muasal toko Jamu Marie dan kehidupan mereka di Parakan. Sementara Mulia hilir mudik menyiapkan sembahyangan jelang tahun baru Imlek, sang ayah mulai bertutur tentang leluhurnya.
“Saya generasi ke 5. Resep obat tradisional di sini sudah ada sejak masa nenek yang bernama (m)Be Kaci, keturunan dari (m)Be Cok Lok seorang Mayor Tituleir. Masih ada hubungan dengan (m)Be Biao Tjoan pemilik Gedong Gula di Semarang,”ujar Rudi yang menjelaskan bahwa keluarga keturunan Be Kaci yang dimaksud berasal dari garis perempuan sehingga tak banyak informasi yang tersisa.
Baca Juga: Hikayat Toleransi: Mengenal Tasamuh di Ponpes Al Hidayat Lasem
“Jamu ini kan budaya khas Jawa, luluhur kita semua kenal jamu untuk menjaga kesehatan. Jamu leluhur kami ya bukan jamu seperti yang di toko obat Cina di kota besar. Beda, ini lokal. Toko ini jualan jamu dan kotang,”ujar Rudi menceritakan bahwa pengguna kotang (bra tradisional Jawa) masih cukup banyak. Untuk memenuhi kebutuhan pengguna kotang, istrinya rutin menjahit kotang aneka warna.