Nelayan Trawl Sebabkan Tangkapan di Teluk Semanting Berkurang

By Fikri Muhammad, Selasa, 10 Maret 2020 | 10:22 WIB
Nelayan Teluk Semanting ()

Nationalgeographic.co.id - Penduduk Teluk Semanting, Kalimantan Timur menggunakan dua jenis perahu tradisional untuk melaut. Yakni perahu panjang dan perahu pendek (dompeng).

Dengan kedua perahu tersebut, para nelayan mendapatkan tangkapan seperti ikan bawal, ikan merah, ikan kakap, ikan bandeng laut, dan lainnya. Hasil tangkapan kemudian dijual ke penampungan teluk dan sebagiannya dijadikan produk olahan kerupuk oleh kelompok ibu-ibu.

Baca Juga: Sering Belanja Daring? Lakukan Hal Ini Agar Tak Banyak Gunakan Kemasan Plastik

Selama melaut, para nelayan seringkali berhadapan dengan beberapa risiko seperti mesin rusak dan ombak badai. Meski begitu, menurut Fajrul Ibrahim, Relawan Photovoices International, yang menjadi ancaman besar bagi para nelayan adalah trawl karena menyebabkan penurunan hasil tangkapan laut.

Trawl atau pukat harimau mengundang banyak protes nelayan tradisional karena sifatnya yang merusak. Apalagi, itu jadi menangkap ikan-ikan lain yang bukan targetnya. Akibatnya, sisa tangkapan dibuang begitu saja sehingga menyebabkan penurunan populasi ikan di perairan Teluk Semanting.

“Saat ini terjadi penurunan hasil tangkapan. Dulu, nelayan bisa dapat 100 kilogram dalam satu trip, tapi sejak ada trawl paling banyak 30 kilogram. Trawl sering digunakan di tempat yang sama dengan kami, karena itu hasil tangkapan berkurang,” ucap Fajrul di Gedung Mufakat Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan Timur (5/03/2020).

Menanggapi ancaman nelayan trawl, Wakil Bupati Berau, Agus Tamtomo menyayangkan bahwa hal itu mungkin terjadi karena ada kesalahan dalam mengatasi keberadaan nelayan trawl.

Selama ini cara yang dilakukan ialah mengadakan patroli dan penangkapan oleh aparat. Agus berpendapat, cara itu represif dan kucing-kucingan. Dalam jangka panjang, cara itu menurutnya tidak efektif lagi.

“Pendekatan yang selama ini dilakukan kepada nelayan trawl ini represif dan kucing-kucingan, harus pake patroli, ancaman, dan lain-lain. Ini jika diperpanjang tidak bagus. Jauh lebih baik dengan edukasi,” ucap Agus dalam acara kerjasama Yayasan Konservasi Alam Nusantara dan Photovoices International di Berau, Kalimantan Timur (5/03/2020).

Memberikan pengertian dan edukasi kepada nelayan trawl diyakini lebih efektif karena Agus sebelumnya pernah bersinggungan dengan masalah nelayan yang menggunakan bom ikan.

Mengatasi nelayan dengan bom menurutnya sulit karena bom yang digunakan itu dirakit di atas kapal yang berada di bawah laut. Aparat patroli yang datang mudah terlihat dari kejauhan sehingga bom dapat dijatuhkan ke tengah laut.

Selain itu, bom juga cepat berpindah tangan karena para nelayan menggunakan cara transshipment. Karena kesulitan itu, Agus pun mencoba memberikan pendekatan. Ia mengklaim cara itu ampuh menangani nelayan-nelayan nakal.

Pada masa mendatang, Agus berjanji akan memelihara populasi ikan tangkapan dengan zona no taking.

“Saya akan membuat zona no taking, kita jaga tidak boleh sama sekali penangkapan di sana. Baik yang ramah lingkungan atau ilegal,” ucap Agus.

Pengerajin Perahu di Teluk Semanting ()

Namun, menurut warga, kenyataan di lapangan berbeda. Seorang warga Semanting bernama Fathur Rizal (26) mengatakan bahwa mengatasi nelayan trawl tidak bisa dengan cara baik-baik.

“Lebih efektif ditangkap, kalau diomongin baik-baik ya namanya kita sama-sama cari nafkah. Yang ada malah tensi naik,” tegas Rizal kepada National Geographic Indonesia di Teluk Semanting, Kalimantan Timur (6/03/2020).

Baca Juga: Salju di Antartika Berubah Warna Menjadi Merah, Apa Penyebabnya?

Rutinitas nelayan Teluk Semanting disesuaikan dengan pasang surut laut. Waktu terbaik disebut sebagai “air hidup” dan waktu terburuk disebut sebagai “air mati”.

Dalam satu bulan terdapat 2 kali masa “air hidup”. Jika tidak memungkinkan untuk melaut, para nelayan memilih untuk beristirahat. Karena jika memaksa melaut pada saat “air mati” maka penghasilan ikan akan berkurang.

Rizal sendiri sudah melaut sejak berumur 13 tahun. Dahulu, para nelayan tidak perlu mencari spot ikan karena populasinya bertumpah ruah di kawasan laut Teluk Semanting. Namun sekarang, ikan-ikan hanya berada di spot tertentu yang jaraknya berkilo-kilo meter ke tengah laut.