Kampung Teluk Semanting Miliki Kerupuk Ikan Olahanya Sendiri

By Fikri Muhammad, Rabu, 30 September 2020 | 09:05 WIB
Seorang Ibu Pengolah Kerupuk di Semanting Sedang Menjemur Produknya ()

Nationalgeographic.co.id—Penampungan ikan di Teluk Semanting rupanya tak berhenti sebagai tempat jual beli ikan pada konsumen rumah tangga namun juga dimanfaatkan untuk pengolahan kerupuk. 25 ibu-ibu Teluk Semantinglah yang mengolah ikan sebagai bahan kerupuk kemasan.

Sri Ngesti Utami misalnya, sejak 2010 sudah mencoba mengolah tangkapan ikan menjadi kerupuk. Dengan bantuan berbagai pihak ia membantu perekonomian keluarga.

Kampung Teluk Semanting, Kalimantan Timur memiliki 5 kelompok pengolah kerupuk. Produk kemasanya terbagi dua, yakni ada kemasan BUMK (Badan Usaha Milik Kampung) dan ada kemasan milik kelompok. Masing-kelompok memiliki 5 anggota. 

Sebagai salah satu ketua kelompok, Sri mengerjakan semua proses, Seperti memilah ikan dari penampung, perebusan, mengiris, dan pemasaran.

Ilmu penjualan didapat Pada 2016, Sri dan pengolah kerupuk lainya mendapat pelatihan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melakukan pembukuan, pembagian kerja anggota, dan penjualan. Maka sejak itu, dibentuklah kelompok pengolah kerupuk di Semanting. 

Mulanya Sri melakukan penjualan produknya sendiri. Ia pergi ke Pasar Adjidilayas, Berau. Dengan perjalanan selama 2 jam ia membawa sampel produk kerupuknya dan membagikanya secara gratis ke toko-toko. Tak ketinggalan kantor-kantor di Berau juga menjadi sasaran sampel kerupuk Sri. 

Seiring berjalanya waktu sampel itu laris manis. Bahkan terjual sampai toko-toko swalayan di Berau dan Bandara Kalimarau. Sri menjual produknya sebesar Rp 25.000 untuk satu kemasan. Sampai saat ini produk kelompok kerupuk Semanting memiliki langgananya sendiri. 

“Karena di Berau ada penampung jadi ndak susah kesana kesini. Begitu minta berapa ratus kemasan tinggal drop. Kalo di Tanjung Batu juga tinggal drop,” ucap Sri pada National Geographic Indonesia di Teluk Semanting, Kalimantan Timur (06/03/2020).

Namun bahan baku ikan laut saat ini sulit didapat karena tangkapan ikan yang berkurang. Selain itu, produksi kerupuk juga sangat bergantung pada cuaca karena sinar matahari memengaruhi kualitas kerupuj baik atau tidaknya. Jika tidak segera dijemur maka kerupuk akan berjamur dan rasanya akan berbeda.

Baca Juga: Kisah Alfred Rambaldo, Orang Belanda Pertama yang Terbang dengan Balon Udara di Batavia

Alat-alat yang digunakan untuk produksi pun masih serba tradisional. Kelompok belum memiliki oven untuk pengeringan, pemotongan masih dengan pisau, dan tidak memiliki mesin pendingin (freezer) untuk menyimpan ikan.

Dalam anggota kelompok tidak ada perbedaan pendapatan keuntungan. Perhitungan disesuaikan dengan pembagian kerja, uang bahan baku (ikan, tepung, bawang). Keuntungan yang didapat dikurangi uang modal dan dibagikan secara merata.

Jenis ikan laut yang digunakan ialah Ikan Otek, sejenis patin laut. Adapun jenis ikan tambak juga bisa dijadikan bahan olahan kerupuk.

Keuntungan dari olahan kerupuk terbilang cukup besar. Untuk satu pikul sebesar 100 kg bisa mendapat keuntungan dua kali lipat lebih untuk dijual dalam satu toko. Dengan modal produksi sebesar Rp 500.000 bisa terjual Rp.1.000.000 sampai Rp.1.500.000.

Permintaan yang banyak tak selalu menyenangkan bagi kelompok. Pasalnya, produksi sudah mencapai batas dan tidak bisa ditambah karena berbagai kendala.

“Permintaan ada terus. Kemarin pertengahan 2019 saya nggak berani ambil, Koperasi Balik Papan minta 500 kemasan dalam satu bulan. Tapi ndak bisa karena kalau terikat kan harus buat. Sedangkan bahan baku belum pasti ada dan tidak ada freezer,” tutur Sri.