Diapit Laut Jawa dan Selat Madura, Surabaya dan sekitarnya berkelimpahan segala hasil laut. Bandeng asap, beragam petis, terasi, berpuluh-puluh olahan hasil laut seperti kerupuk ”blonyo” selalu menjadi buah tangan khas Surabaya. Dari tangan para nelayan di sepanjang pesisir Selat Madura dan pesisir utara Jawa itulah asal mula beragam kelezatan itu.
Hari sudah beranjak petang, tetapi kesibukan karyawan Toko Bhek di Jalan Genteng Besar 75, Surabaya, tak juga reda. Berpuluh pembeli berjalan di antara rak-rak setinggi 2,5 meter yang dipadati beragam makanan atau bahan makanan. Sebuah lemari kaca yang penuh dengan bandeng asap menebar bau khas di seisi toko buah tangan khas Surabaya itu.
Berjenis-jenis terasi terpajang di rak yang lain, mulai dari terasi asal Puger sampai terasi asal Bonang. Ada lagi rak penuh aneka kerupuk mentah berbahan aneka hasil laut, seperti ikan ataupun udang. Ada lebih banyak lagi kerupuk berupa hasil laut siap santap, mulai dari kerupuk teripang, kerupuk terung, kerupuk blonyo, dan camilan seperti lorjuk.
Di rak lain, beragam petis berderet-deret, membuat bingung untuk memilih. ”Mau mencari petis apa,” tanya salah satu pegawai Toko Bhek. ”Ini petis yang sudah matang,” tunjuknya ke sudut kiri rak itu, ”sisanya petis tanpa olahan.”
Di meja kasir, Beni, si pengelola toko, mengawasi setiap transaksi. Sang kasir di samping Beni cepat menghitung dengan meneriakkan kode dari tiap-tiap barang yang ia catatkan ke mesin kasir. ”36, 24, 29, 507, 343, 238, 485 ...,” entah bagaimana caranya si kasir mengingat. Begitu transaksi selesai, pegawai lain mengepak semua belanjaan dalam kardus yang siap ditenteng untuk perjalanan jauh.
Didirikan Tan Siong Bhek pada 1930, Toko Bhek selalu ramai oleh orang yang mencari buah tangan khas Surabaya, olahan laut, dan beragam camilan lain. ”Sebagian besar barang jualan kami berasal dari Sidoarjo, sentra olahan hasil laut. Ada yang didatangkan khusus dari Madura, lorjuk misalnya,” kata Beni.
Jalan panjang blonyo
Ada puluhan toko seperti Toko Bhek yang tersebar di Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Ada beratus ribu nelayan di balik beragam kelezatan yang dilimpahkan Laut Jawa dan Selat Madura. Salah satunya, nelayan Desa Junganyar, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Itulah kampung ”pemburu” berjenis-jenis timun laut atau teripang (Holothuroidea), bahan aneka kerupuk buah tangan khas Surabaya.
Sabtu (24/8/2013) siang itu, Sutinah (48) membersihkan sebaskom blonyo, binatang laut sejenis teripang berukuran panjang sekitar 10 sentimeter, berdiameter sekitar 2 sentimeter.
Tangan Sutinah telaten membersihkan lumpur abu-abu yang liat melengketi ratusan blonyo tangkapan suaminya, Supriyadi (50). Di pintu rumah, sang suami mengawasi perapian tempat sepanci terung lain direbus.
Hidup tak pernah lunak bagi para pencari timun laut seperti Supriyadi. Nyaris sepanjang malam, Supriyadi ”menggaruk” lumpur dasar laut Selat Madura dengan garit, jalinan 18 batang besi stainless steel serupa kail yang ditata berjajar seperti garpu bengkok. Dengan ”garpunya”, Supriyadi menyisir gumpalan lumpur liat abu-abu yang merupakan ”gudang” terung dan blonyo buruannya.
”Kami tak pernah tahu dasar laut sebelah mana yang penuh terung. Pergerakan lumpur di dasar laut Selat Madura dipengaruhi arus bawah laut. Sekali melaut memakan biaya Rp 200.000 dengan hasil yang tidak dapat dipastikan. Yang pasti, untuk mendapatkan sekilo kerupuk terung dibutuhkan setidaknya 27 kilogram tangkapan terung basah,” ujar Supriyadi.
Pengolahan cukup rumit. Setiap blonyo punya sejumlah serat berdiamater 0,05 sentimeter yang harus diurai untuk diolah terpisah sebagai jarot. Waktu yang dibutuhkan untuk pengolahan—mulai dari mencuci, merebus, membalik kulit blonyo, memisahkan serat jarot, menjemur, sampai menggoreng—tak bisa ditentukan karena bergantung cuaca.
Setiap blonyo dan jarot yang telah kering digoreng dengan pasir lantas digoreng lagi dengan minyak goreng. Setiap kilogram blonyo goreng dijual seharga Rp 100.000. Jarot mentah siap goreng dijual terpisah dengan harga Rp 130.000 per kg. Jarot goreng bisa dihargai Rp 250.000 per kilogram. ”Namun, lama sekali proses untuk mengumpulkan jarot goreng seberat satu kilogram,” kata Supriyadi.
Dengan kerja serumit itu Supriyadi dan Sutinah bisa mendapat penghasilan bersih sekitar Rp 1 juta per pekan. ”Cukuplah buat menyekolahkan empat anak kami. Anak tertua saya, Feri, sudah jadi pelaut, sedang berlayar ke Brasil. Dua anak lain kuliah, dan seorang masih SMA. Waktu Feri belum bekerja, saya harus jadi anak buah kapal untuk membiayai empat anak sekolah. Sekarang sudah tujuh tahun saya berhenti bekerja di kapal dan balik menjadi anak buah kapal. Untuk hidup cukup, namun untuk naik haji, ya, tidak cukup. Sementara juragan pengepul blonyo naik haji terus,” kata Supriyadi tertawa.
Pengepul yang diceritakan Supriyadi itulah yang melayarkan blonyo dan jarot melintasi Selat Madura. Setelah pengemasan di Surabaya, blonyo dan jarot pun tersaji di toko buah tangan seperti Bhek.
Untung petis
Tak hanya para lelaki penjelajah laut yang menjadi tulang punggung bagi ketersediaan berbagai hasil laut. Lorjuk, salah satu camilan olahan laut yang berharga mahal, adalah jenis ”buruan” yang dicari para istri nelayan demi mengisi hari mereka menunggu suami melaut pulang. Kendati di Surabaya lorjuk (Solen grandis, binatang karang laut bercangkang yang gurih, berukuran panjang 3 sentimeter, berdiameter 0,4 sentimeter) dijual dengan harga Rp 250.000 per kilogram, nasib para pencari lorjuk, seperti Jatimah (65), tak secemerlang harga lorjuk.
Jika cuaca baik, Jatimah dan sejumlah perempuan baya di Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan, bakal berjalan kaki menuju pantai sejauh 3 kilometer, mengadu peruntungan mencari lorjuk di pasir dasar laut yang surut. Karena berkejaran dengan waktu pasang, setiap pencari lorjuk paling banyak mengumpulkan sekitar dua-tiga mangkuk berukuran sekitar 0,5 liter.
”Satu pencari lorjuk paling banyak memperoleh uang Rp 15.000 per hari, tetapi keuntungan saya pun tak banyak. Untuk 40 mangkuk lorjuk, saya keluar uang Rp 200.000. Setelah diolah menjadi lorjuk kering mentah, saya jual seharga Rp 200.000,” kata Jatimah.
Keuntungan Jatimah? Sekitar 0,5 liter petis lorjuk yang didapatkannya dari perebusan lorjuk yang kalaupun dijual harganya tak lebih dari Rp 30.000. ”Keuntungan lain adalah menjual cangkang lorjuk yang sudah ditumbuk dengan harga Rp 700 per kilogram,” kata Jatimah.
Mendengar cerita Jatimah, harga lorjuk siap santap yang Rp 250.000 per kilogram langsung terasakan terlalu murah. Begitu pula sekantong kerupuk blonyo yang didapat dari olahan rumit Supriyadi dan Sutinah.
Para penyantap kerap kali lupa atau tak pernah tahu asal-usul santapan, juga setiap keringat dan tenaga yang mengantarkan santapan itu ke rak-rak toko. Kisah di balik sekantong kerupuk blonyo atau setangkup lorjuk kerap kali tidak selezat rasanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR