'Meratakan kurva'
Sejauh ini, sudah ada 29 negara yang menghentikan sementara pembelajaran di kelas. Menurut UNESCO, keputusan ini berdampak pada hampir 400 juta anak-anak. Beberapa orang berargumen, menutup sekolah akan mengganggu kehidupan sosial anak-anak dan membiarkan mereka di rumah semakin meningkatkan risiko tertular COVID-19.
Thomas House, ahli statistik di University of Manchester, mengakui bahwa ada pro dan kontra terkait kebijakan ini.
"Menghentikan kegiatan di sekolah dapat mengurangi risiko penyebaran virus, tapi juga menciptakan masalah baru dalam masyarakat seperti kehilangan edukasi," ungkapnya.
Baca Juga: Mengurangi Kontak Sosial Selama di Rumah, Ini yang Harus Dilakukan
Meski begitu, para ahli setuju dengan penutupan sementara sekolah-sekolah dalam rangka memperlambat penyebaran wabah. Ini juga dilakukan untuk menghindari banyaknya kasus kritis di rumah sakit seperti yang terjadi di Wuhan dan Italia.
Para dokter di kedua tempat tersebut menggambarkan situasi gawat darurat ini seperti perang--di mana mereka harus menginkubasi pasien dengan respirator terakhir yang tersedia, sementara ada orang lain dengan kebutuhan sama yang mungkin tidak bisa diselamatkan.
Menurut Nachman, 'menarik' anak-anak dari sekolah merupakan langkah tepat untuk sekarang. "Jika anak-anak di sekolah terinfeksi, mereka akan menularkannya lagi kepada orangtua dan siapa pun yang ada di sekitarnya. Akan butuh waktu lama untuk menyembuhkan mereka semua," paparnya.
"Oleh sebab itu, daripada menyebabkan ratusan orang sakit di kemudian hari, kami akan menahan anak-anak selama sepuluh hari ke depan sehingga mengurangi jumlah pasien yang datang ke rumah sakit dalam satu waktu," pungkasnya.