Anak-anak Jarang Sakit Karena Corona, Tapi Tetap Bisa Sebarkan Virus

By Gita Laras Widyaningrum, Selasa, 17 Maret 2020 | 09:18 WIB
Ilustrasi anak sakit. (Ryan King 999/Thinkstock)

Nationalgeographic.co.id - Untuk beberapa alasan yang belum diketahui, anak-anak jarang mengalami gejala parah ketika terinfeksi virus corona. Para ahli mengatakan, mereka bahkan jarang terkena penyakit COVID-19.

Namun, meski begitu, bukan berarti bayi, balita, dan remaja tidak menjadi pembawa virus corona baru yang ditularkan dari hewan ke manusia pada akhir tahun lalu di Tiongkok ini. 

"Kami tahu anak-anak bisa tertular virus ini, tapi mereka tidak tampak sakit atau berisiko meninggal," kata Justin Lessler, ahli epidemiologi di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. 

"Yang tidak kami tahu adalah bagaimana mereka menularkannya karena tidak memiliki gejala. Penting untuk mengetahui peran mereka dalam penyebaran wabah ini," imbuhnya. 

Baca Juga: Menjaga Para Lansia dari Ancaman Virus Corona, Bagaimana Caranya?

Dalam sebuah studi pada pertengahan Februari lalu, ada 44 ribu kasus di sekitar Wuhan, kota yang menjadi awal mula penyebaran virus corona. Dari jumlah tersebut, diketahui bahwa 1% anak-anak berusia 10-19 tahun tertular COVID-19, tapi hanya ada satu kematian.

Sementara itu, untuk anak-anak berusia 10 tahun, jumlahnya kurang dari 1% dan tidak ada korban meninggal.

 "Kami masih masih berusaha memahami mengapa kasus COVID-19 sangat rendah pada mereka yang berada di bawah usia 20," ungkap Cecile Viboud, ahli epidemiologi dari US National Institute of Health's Fogarty International Centre.

Ada beberapa teori yang menyatakan mengapa anak-anak tidak terlalu rentan terhadap gejala COVID-19. 

"Anak-anak sudah bertemu dengan banyak penyakit di awal-awal kehidupannya sehingga sistem imun mereka menjaganya dari infeksi virus corona," kata Sharon Nachman, kepala bagian penyakit menular anak di Stony Brook Children's Hospital di New York.

Namun, apa pun alasannya, anak-anak ini tetap dengan mudah menularkan penyakit COVID-19 pada orang di sekitarnya. 

Coronavirus membuat takut masyarakat China. Tapi di Taiwan mereka lebih takut infeksi musiman ini. ()

'Meratakan kurva'

Sejauh ini, sudah ada 29 negara yang menghentikan sementara pembelajaran di kelas. Menurut UNESCO, keputusan ini berdampak pada hampir 400 juta anak-anak. Beberapa orang berargumen, menutup sekolah akan mengganggu kehidupan sosial anak-anak dan membiarkan mereka di rumah semakin meningkatkan risiko tertular COVID-19.

Thomas House, ahli statistik di University of Manchester, mengakui bahwa ada pro dan kontra terkait kebijakan ini.

"Menghentikan kegiatan di sekolah dapat mengurangi risiko penyebaran virus, tapi juga menciptakan masalah baru dalam masyarakat seperti kehilangan edukasi," ungkapnya.

Baca Juga: Mengurangi Kontak Sosial Selama di Rumah, Ini yang Harus Dilakukan

Meski begitu, para ahli setuju dengan penutupan sementara sekolah-sekolah dalam rangka memperlambat penyebaran wabah. Ini juga dilakukan untuk menghindari banyaknya kasus kritis di rumah sakit seperti yang terjadi di Wuhan dan Italia. 

Para dokter di kedua tempat tersebut menggambarkan situasi gawat darurat ini seperti perang--di mana mereka harus menginkubasi pasien dengan respirator terakhir yang tersedia, sementara ada orang lain dengan kebutuhan sama yang mungkin tidak bisa diselamatkan.

Menurut Nachman, 'menarik' anak-anak dari sekolah merupakan langkah tepat untuk sekarang. "Jika anak-anak di sekolah terinfeksi, mereka akan menularkannya lagi kepada orangtua dan siapa pun yang ada di sekitarnya. Akan butuh waktu lama untuk menyembuhkan mereka semua," paparnya.

"Oleh sebab itu, daripada menyebabkan ratusan orang sakit di kemudian hari, kami akan menahan anak-anak selama sepuluh hari ke depan sehingga mengurangi jumlah pasien yang datang ke rumah sakit dalam satu waktu," pungkasnya.