Peter Carey Ungkap Kedudukan Perempuan di Era Kesultanan di Nusantara

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 24 Maret 2020 | 17:40 WIB
Acara perkawinan seorang anak perempuan di Lombok, NTB. (Citra Anastasia)

Nationalgeographic.co.id - Di nusantara, terutama pada era kesultanan, ternyata perempuan memiliki kedudukan yang cukup penting dalam segala lini. Peter Carey, sejarawan dari Oxford University menyebutkan bahwa perempuan nusantara pada masa kesultanan tidak hanya kuat di bidang ekonomi, tapi juga kemiliteran dan spiritual.

Pada bidang ekonomi, perempuan tidak hanya mengurusi produksi bahan pokok seperti tekstil, tapi juga perniagaan. Menurut Carey, waktu kunjungan duta besar VOC ke Keraton Mataram, terdapat 10.000 perempuan yang tinggal di keraton, dan 80% diantaranya memproduksi banyak barang yang memiliki nilai bisnis, sementara sisanya menjadi prajurit keamanan keraton atau disebut prajurit estri.

“Pada masa itu, perempuan dilirik karena mereka kaya. Mereka pintar mengelola ekonomi. Meskipun secara wibawa selalu laki-laki yang memegang keris,” kata Carey saat diwawancara National Geographic Indonesia.

Baca Juga: Sulianti Saroso, Dokter Peduli Penyakit Menular dan Keluarga Berencana

Dalam buku yang ditulis bersama Vincent Houben dari Humboldt University, Carey juga menyebutkan bahwa di pasar, lebih banyak wanita yang melakukan bisnis jual-beli--kaum pria tidak pintar dalam hal keuangan.

“Bahkan saat Inggris menyerang Keraton Yogyakarta, mereka mengincar para prajurit estri yang dikenal sebagai golongan perempuan paling kaya di kerajaan. Upah mereka dari hasil perdagangan kerajaan juga besar,” kata Carey.

Pada sisi spiritual, perempuan memiliki peran sebagai penjembatan dunia nyata dan gaib. Carey menyebutnya chima (perantara untuk berkomunikasi dengan leluhur). “Dan biasanya, chima itu mahal,” ungkap Carey.

Lingkungan keraton kesultanan sendiri menggunakan kekuatan perempuan sebagai perantara untuk meramalkan masa depan dan membuat pertimbangan hukum atau sistem politik kesultanan. 

“Bahkan Ratu Kidul (Nyi Roro Kidul) menjadi pelindung raja dari Mataram,” tambahnya.

Komunikasi dengan Nyi Roro Kidul melalui upacara Bedoyo mencerminkan secara simbolis bahwa perempuan adalah makhluk yang memiliki kekuatan gaib.

Pandangan mengenai posisi perempuan nusantara memiliki peran yang setara karena memiliki perspektif berbeda dari kebudayaan lainnya di dunia, yang disebut perspektif masyarakat Polinesia.

Unsur masyarakat Polinesia yang matriarki ini masih diamini dalam beberapa budaya nusantara seperti Minangkabau dan Aceh. Ia menyebutkan, perspektif inilah yang menyebabkan mengapa Cut Nyak Dhien dan banyak perempuan Aceh turun bertempur melawan penjajahan pada awal abad ke-20.

Baca Juga: Perang dengan Patogen dan Apa yang Diajarkan Sejarah Untuk Lawan Corona

Sistem masyarakat matriarki ala Polinesia ini juga menyatakan bahwa kepemilikan tanah hanya bisa diwariskan melalui garis perempuan, sebagaimana masyarakat Minangkabau mewariskan marganya dari perempuan.

Dalam studinya bersama Vincent, kedatangan Islam beserta undang-undangnya juga memberikan hak waris kepada perempuan, yang kemudian disesuaikan dengan adat setempat. 

“Islam datang dengan salah satu napas baru dan boleh dikatakan cukup demokratis dan mempermudah situasi dipermudah,” terang Carey mengenai perspektif Islam yang masuk ke kawasan Nusantara untuk kedudukan perempuan.