Sulianti Saroso, Dokter Peduli Penyakit Menular dan Keluarga Berencana

By Gita Laras Widyaningrum, Jumat, 20 Maret 2020 | 10:57 WIB
Julie Sulianti Saroso. (rspi-suliantisaroso.com)

Nationalgeographic.co.id - Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso semakin sering disebut bersamaan dengan berkembangnya wabah virus corona di Indonesia. Pasalnya, rumah sakit ini menjadi tempat perawatan intensif bagi pasien COVID-19. Lantas, siapa sosok Sulianti Saroso di balik nama rumah sakit tersebut?

Memiliki nama lengkap Julie Sulianti Saroso, perempuan ini merupakan dokter Indonesia yang berdedikasi pada masanya. Dilansir dari indonesia.go.id, Profesor Dokter Sulianti Saroso terkenal akan jasanya pada pencegahan dan pengendalian penyakit menular serta keluarga berencana (KB).

Baca Juga: Temple Grandin, Ilmuwan Perempuan yang Ciptakan Alat Terapi Autis

Perempuan kelahiran Karangasem, Bali, 10 Mei 1917, ini pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan, dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M) pada 1967. Di saat yang bersamaan, ia merangkap sebagai Direktur Lembaga Riset Kesehatan Nasional (LRKN).

Pada masa inilah, Sulianti memiliki perhatian besar pada penyakit menular. Klinik Karantina di Pelabuhan Tanjung Priok ia kembangkan menjadi rumah sakit dan pusat riset khusus penyakit menular. 

Sulianti ingin rumah sakit tersebut dilengkapi dengan teknologi terbaru dan mutakhir serta sumber daya yang ahli di bidangnya. Tujuannya, agar Rumah Sakit Pusat Infeksi ini bisa menjadi rujukan sekaligus lembaga pendidikan terkait penyakit menular. Atas jasanya itulah, nama Sulianti diabadikan pada RSPI Sulianti Saroso yang diresmikan pada 1995. 

Tak hanya fokus pada Klinik Karantina di Tanjung Priok, Suliantu juga membangun pos-pos kesehatan masyarakat di berbagai lokasi. Dari hasil pengamatan lapangan, ia mulai memikirkan tentang vaksinasi massal, vaksinasi reguler (untuk anak usia dini), pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak, produksi cairan 'oralit' untuk diare, serta perencanaan dan pengendalian kehamilan. 

Sulianti Saroso. (IST via indonesia.go.id)

Dikutip dari Kompas.com, kecakapan Sulianti membuatnya mendapatkan beasiswa UNICEF untuk memperdalam pengetahuan di bidang Kesehatan Masyarakat dan Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) di Inggris, Skandinavia, Amerika Serikat, dan Malaysia. Ia pun mendapat izin Administrasi Kesehatan Rakyat dari Universitas London.

Berprestasi di luar negeri tidak membuatnya lupa tanah air. Saat kembali ke Indonesia, Sulianti membawa banyak gagasan mengenai kesehatan ibu dan anak. Salah satunya untuk mengendalikan angka kelahiran melalui edukasi seks dan gerakan Keluarga Berencana (KB). 

Tidak semua orang setuju dengan gagasan Sulianti, tapi ia tidak menyerah mencari dukungan. Dalam buku People, Population, and Policy in Indonesia, Terence H Hull, pengamat kebijakan kesehatan dari Australia National University, menulis: "Dengan penuh semangat, dia meminta pemerintah agar membuat kebijakan mendukung penggunaan kontrasepsi melalui sistem kesehatan masyarakat." 

Lewat media massa, Sulianti juga menyampaikan informasi terkait pendidikan seks dan alat kontransepsi untuk mengendalikan kehamilan dan kelahiran. Menurutnya, masalah kemiskinan dan kurang gizi, amat berkaitan dengan jumlah kelahiran yang tidak terkontrol. 

Baca Juga: Kehebatan 9 Pendekar Perempuan dalam Sejarah Dunia

Aksi Sulianti ini sempat mendapat protes dari Gabungan Organisasi Wanita (GOW). Muhammad Hatta dan Soekarno pun menganggap gagasannya kurang tepat dan kurang wajar jika digunakan dalam komunikasi massa.

Hal ini membuat Sulianti lebih berhati-hati dalam menyampaikan kampanyenya. Ia mulai bergabung dengan sejumlah aktivis perempuan serta mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) dengan klinik-klinik swasta yang melayani KB di berbagai kota. Gerakan Keluarga Berencana (KB) yang diusungnya akhirnya mulai diperhatikan pada masa Orde Baru. 

Dedikasinya pada bidang kesehatan membuatnya ditunjuk sebagai anggota badan eksekutif dan Ketua Health Assembly. Pascapensiun pada 1970-an, Sulianti masih diminta menjadi tim penasihat Menteri Kesehatan. Ia terus melanjutkan gagasannya tentang tata kelola kesehatan masyarakat, Keluarga Berencana (KB), dan pengendalian penyakit menular hingga meninggal dunia pada 29 April 1991.