Dampak Tutup Sekolah dan Kampus Mampu Cegah COVID-19 ke Anak

By Fikri Muhammad, Jumat, 20 Maret 2020 | 17:22 WIB
()

Nationalgeographic.co.id - Para peneliti di Inggris yang tergabung dalam Imperial College COVID-19 Response Team telah melakukan riset terhadap dampak dari non-pharmaceutical interventions (NPIs) atau intervensi nonfarmasi untuk mengurangi penularan virus COVID-19.

Penelitian itu berjudul impact of non-pharmaceutical interventions (NPIs) to reduce COVID-19 mortality and healthcare demand yang dipublikasikan pada 16 Maret 2020.

NPIs adalah opsi pencegahan virus COVID-19 karena pembuatan vaksin yang memakan waktu cukup lama sampai 18 bulan di Amerika Serikat. Hingga nantinya bisa disebarkan ke khalayak ramai.

Baca Juga: Belajar dari Flu Spanyol 1918, Cara Ini Bisa Cegah Penyebaran Corona

NPIs sendiri meliputi isolasi dan karantina di rumah secara sukarela, membatasi kontak dengan mereka yang berusia di atas 70 tahun, membatasi kontak pada seluruh seluruh populasi, serta penutupan sekolah dan universitas. 

Salah satu yang menarik perhatian ialah upaya penutupan sekolah dan universitas. Di Inggris dan Amerika Serikat, yang menjadi cakupan wilayah penelitian ini, penutupan sekolah dan universitas harus dilakukan secepatnya untuk mengurangi penularan virus yang cepat.

Ini menjadi tindakan awal yang penting sebelum para perawat kesehatan kewalahan dan kapasitas penyedia layanan kesehatan terbatas. 

Walaupun masih ada 25% sekolah dan universitas di Inggris dan Amerika Serikat yang masih buka, tapi menutup sebagian sekolah dan universitas di Inggris dan Amerika berdampak pada beberapa hal. Pasalnya, meski anak-anak tidak mengalami gejala yang parah saat terinfeksi COVID-19, tapi mereka berisiko menularkan virus corona kepada orang lain.

Penutupan ini merupakan salah satu upaya pemutusan kontak sosial dan berpengaruh mengurangi penularan. Dengan penutupan sekolah dan universitas tersebut, kontak anak bersama keluarga meningkat sebanyak 50%, sementara dengan komunitas (yang populasinya lebih banyak) hanya 25%.  

Baca Juga: Tak Semua Anak Bebas COVID-19, Perlukah Penanganan Khusus Pediatri?

Diketahui bahwa di Amerika Serikat jumlah korban meninggal dunia justru di dominasi oleh orang yang sudah lanjut usia. Dari 100 orang korban meninggal dunia pertama, mayoritas ialah orang dengan umur 50 sampai 90an menurut CNN.

Kebanyakan dari mereka tinggal di tempat pelayanan sosial seperti panti jompo. Serta memiliki riwayat penyakit seperti diabetes, emfisema, dan jantung. 

Sedangkan jumlah kasus COVID-19 untuk anak-anak condong lebih sedikit. Yakni anak pada usia 0-9 tahun terdapat 0,1% kasus simptomatik yang membutuhkan rawat inap, 5,0% kasus dirawat di rumah sakit yang membutuhkan perawatan kritis, dan 0.002% rasio fatalitas infeksi.

Lalu pada anak usia 10-19 tahun terdapat 0,3% simptomatik yang membutuhkan rawat inap, 5,0% kasus dirawat di rumah sakit yang membutuhkan perawatan kritis, dan 0,006% ratio fatalitas infeksinya.

Hal ini berbanding terbalik dengan usia lansia 80 tahun ke atas yang memiliki 27,3% simptomatik yang membutuhkan rawat inap, 70,9% kasus dirawat di rumah sakit yang membutuhkan perawatan kritis, dan 9,3 ratio fatalitas infeksinya.