Belajar dari Flu Spanyol 1918, Cara Ini Bisa Cegah Penyebaran Corona

By Gita Laras Widyaningrum, Jumat, 20 Maret 2020 | 17:21 WIB
Ilustrasi wabah COVID-19. (_freakwave_/pixabay)

Nationalgeographic.co.id - Pandemi COVID-19 kini sudah menjadi ancaman global. Hingga Jumat (20/3/2020), jumlah kasusnya mencapai 245.913, dengan jumlah kematian sebanyak 10.048 di 181 negara. 

Menurut para ahli, terakhir kali dunia mengalami pandemi global dengan skala yang sama besarnya dengan COVID-19 dan tanpa vaksin, adalah saat menghadapi wabah flu Spanyol yang disebabkan virus H1N1 pada 1918. Dilansir dari Centers for Disease Control and Prevention, pagebluk flu Spanyol menginfeksi 500 juta orang (sepertiga populasi dunia saat itu), serta menewaskan 50 juta orang. Ia pun disebut-sebut sebagai pandemi paling mematikan di abad 20. 

Tanpa adanya vaksin untuk melindungi diri dari infeksi virus, cara yang bisa dilakukan saat itu adalah dengan menerapkan non-pharmaceutical interventions (NPI) atau intervensi nonfarmasi, yakni langkah-langkah yang dimaksudkan untuk mencegah penyebaran virus dengan mengurangi kontak dalam populasi.

Baca Juga: WHO: Tes Virus Corona Masif Merupakan Langkah Paling Penting Saat Ini

Dan menurut Imperial College COVID-19 Response Team, cara yang sama bisa diterapkan pada wabah virus corona saat ini.

"Meski kondisi kita sekarang sudah jauh berbeda dengan pandemi 1918, tapi sebagian besar negara-negara di dunia menghadapi tantangan yang sama, yakni virus dengan tingkat kematian yang sebanding," ungkap tim peneliti dalam studinya yang berjudul Impact of non-pharmaceutical interventions (NPIs) to reduce COVID19 mortality and healthcare demand.

"Dengan belum adanya vaksin COVID-19, kami yakin intervensi nonfarmasi memiliki peran potensial dalam mengurangi penularan virus," imbuh mereka. 

Lebih lanjut, tim peneliti mencontohkan, intervensi nonfarmasi bisa dilakukan dengan isolasi diri dan karantina secara sukarela di rumah, pembatasan sosial dengan orang lain, serta menutup sekolah, gereja, bar, dan tempat publik lainnya.

Imperial College COVID-19 Response Team menyampaikan, ada dua strategi dalam melaksanakan intervensi nonfarmasi. Yang pertama adalah mitigasi, yakni berfokus pada 'pelambatan' penyebaran epidemi--mengurangi kesibukan petugas medis saat merawat pasien yang sudah terinfeksi virus corona. 

Yang kedua merupakan supresi, yaitu bertujuan untuk mengubah arah langkah wabah, mengurangi kasus hingga serendah-rendahnya, dan mempertahankan situasi tersebut sampai pandemi selesai. 

Ketika meneliti tentang strategi mitigasi, mereka menemukan fakta bahwa itu perlu dilakukan selama tiga bulan. Sementara supresi lima bulan. 

Secara keseluruhan, hasil studi Imperial College COVID-19 Response Team ini menunjukkan bahwa kota-kota yang melakukan intervensi nonfarmasi di awal berkembangnya wabah, terbukti mengurangi angka penyebaran COVID-19. Dan selama intervensi dilakukan, angka kematian juga lebih rendah.

Ketika jumlah kasus sedang menurun, lebih mudah untuk melakukan tes virus corona, palacakan kontak, serta karantina pasien positif seperti yang dilakukan Korea Selatan saat ini. Teknologi--seperti aplikasi smartphone yang melacak interaksi individu positif dengan orang lain--membuat kebijakan intervensi nonfarmasi menjadi lebih efektif. 

Namun, bagaimana pun juga, jika tidak dikontrol dengan baik, hasil analisis mereka menunjukkan, jumlah penularan akan tinggi kembali. Bahkan, menghasilkan kasus yang sama banyaknya seperti saat intervensi nonfarmasi belum dilakukan. 

"Untuk menghindari melonjaknya kembali penyebaran, kebijakan intervensi harus tetap diawasi sampai tersedianya vaksin dalam jumlah banyak yang bisa memberikan kekebalan bagi populasi dunia. Mungkin sekitar 18 bulan atau lebih," tulis para peneliti. 

Baca Juga: Bagaimana Menjaga Kesehatan Mental dalam Masa Wabah COVID-19?

Beberapa negara di dunia mulai menerapkan intervensi nonfarmasi ini untuk mencegah penyebaran virus corona. Dimulai dari lockdown atau karantina wilayah yang dilakukan Tiongkok di kota Wuhan, tempat wabah ini bermula dan kemudian disusul oleh Italia yang memiliki kasus COVID-19 terbanyak kedua. 

Pemerintah Indonesia sendiri, meski belum melakukan karantina wilayah, tapi sudah mengimbau masyarakat untuk menerapkan social distancing dan  mengurangi aktivitas di luar rumah sebagai langkah untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyebaran virus corona dan wabah COVID-19.

"Saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Bogor, Minggu (15/3/2020).