Kemenkes: Kunyit dan Temulawak Aman Dikonsumsi di Tengah Pandemi COVID-19

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 23 Maret 2020 | 09:29 WIB
Zat yang membuat warna kuning pada kunyit ternyata berfungsi sebagai antiinflamasi dan antiradang. (Wealthylady/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id- Belum lama ini, media sosial diramaikan dengan unggahan yang menyertakan hasil penelitian tentang kunyit dan temu lawak. Kabar itu mengatakan bahwa konsumsi kunyit dan temulawak justru akan meningkatkan suseptibilitas atau kerentanan tubuh terhadap COVID-19.

Si pengunggah menyebutkan bahwa curcumin yang terkandung dalam rimpang kunyit dan temulawak dapat meningkatkan ekspresi enzim ACE2 (Angiotensin-converting-enzyme2) yang menjadi reseptor atau penerima COVID-19.

Apakah ini benar? Kabar ini telanjur membuat panik masyarakat. Pasalnya, sejak diumumkan kasus pertama COVID-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020, banyak warga mulai mengonsumsi jamu berbahan dasar jahe, kunyit dan temulawak. Tujuannya, demi menjaga daya tahan tubuh mereka. 

Baca Juga: Belajar dari Flu Spanyol 1918, Cara Ini Bisa Cegah Penyebaran Corona

Untuk meluruskan kesimpangsiuran ini, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Badan Litbang Kemenkes), dalam rilisnya, menyatakan bahwa curcumin aman untuk dikonsumsi.  

Meski sebuah studi dari Tiongkok menyatakan bahwa curcumin meningkatkan ekspresi ACE2 yang merupakan reseptor virus corona baru, tapi "belum ada bukti klinis cukup kuat yang menyatakan bahwa curcumin juga dapat meningkatkan risiko infeksi COVID-19", tulis  Yuli Widiyastuti

Yuli merupakan peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu. Dia dan timnya menulis hasil penelitian ini di laman Badan Litbang Kementerian Kesehatan bertajuk Curcumin, Aman Dikonsumsi Saat Pandemi Covid-19.

Dia mengatakan, hasil riset Bioinformatika yang dirilis Maret 2020 menggunakan metode pemodelan bioinformatika (moleculer docking), menunjukkan bahwa curcumin mampu berikatan dengan reseptor protein SARS-CoV 2. Ikatan ini justru berpotensi menghambat aktivitas COVID-19. 

Selain itu, curcumin akan menghambat pelepasan senyawa tubuh penyebab peradangan atau sitokin proinflamasi. Pelepasan sitokin dalam jumlah banyak--disebut badai sitokin--yang dapat menumpuk pada organ paru-paru. Penumpukan inilah yang akan menimbulkan sesak. 

Dengan terhambatnya pengeluaran sitokin, maka tidak akan terjadi badai sitokin yang berdampak pada gangguan pernafasan. Mekanisme ini menjelaskan peran curcumin dalam mencegah terjadinya badai sitokin pada infeksi virus.

Curcumin juga memiliki efek menghambat proses pertumbuhan virus. Prosesnya dengan cara merusak fisik virus maupun melalui penekanan jalur pensinyalan seluler yang penting dalam proses replikasi virus. 

Baca Juga: Bagaimana Menjaga Kesehatan Mental dalam Masa Wabah COVID-19?