Orang Belanda Juga Gemar Minum Jamu dan Meneliti Khasiat Kegunaannya

By Fikri Muhammad, Minggu, 19 April 2020 | 16:13 WIB
W.K. Tehupeiory dan keluarganya di Bangka sekitar 1915 (koleksi foto IISG, BG C 16/57) ()

Menurut Fadly, alasan mengapa orang Belanda begitu menaruh perhatian besar terhadap jamu ialah karena penemuan obat medis berbahan kimia pada masa itu belum berkembang secara pesat. Ini membuat mereka mengandalkan tanaman herbal yang tumbuh di Hindia Timur.

Kemudian suplai obat medis dari Kerajaan Belanda ke tanah jajahan juga memerlukan waktu yang sangat lama, bahkan berbulan-bulan.

Kemasan obat pun belum moderen sehingga tak bisa bertahan pada jarak yang jauh karena kondisi obat mudah rusak.

Adanya penemuan medis tentang jamu menjadi bukti bahwa khasiatnya patut diberdayakan dan meresap pada berbagai budaya. 

"Ini yang memunculkan pandangan dari para ilmuwan bahwa jamu memilii khasiat medis yang patut diberdayakan. Tanaman di tanah koloni harus dibudidayakan secara serius dan transaksi jual beli perlu ditingkatkan. Ini yang menunjukan bahwa jamu pada masa kolonial bukan lagi ada pada tatanan kebudayaan lokal saja tapi juga sebuah penelitian ilmiah," ucap Fadly Rahman pada National Geographic Indonesia (26/03/2020).

Perkembangan penelitian ilmiah jamu juga teramu oleh Dokter Belanda seperti Dr.Boorsma, Dr C.L Van der Burg.

Ilmuwan moderen H.A van Hien kemudian membuat buku pada 1924 yang berjudul Javaansch Receptenboek (Buku Resep-Resep Pengobatan Jawa Kuno). 

Baca Juga: Geliat Rumah Jamu Marie Parakan Menjaga Warisan Jamu Nusantara

Untuk melihat sejarah jamu kita bisa mengamatinya pada relief-relief candi. Seperti di kaki candi (Karmawabhangga) Borobudur, terlihat relief tabib yang sedang mengobati pasien dengan menggunakan beberapa jenis jamu yang berasal dari tumbuhan seperti akar, batang, biji, daun.

Fadly Rahman yang juga seorang Dosen Prodi Ilmu Sejarah Unpad mengatakan bahwasanya masyarakat Jawa pada abad ke-8 secara organik memanfaatkan tumbuhan sekitar untuk pengobatan. 

Warisan pengetahuan herbal ini pun melompati abad-abad berikutnya. Yakni pada catatan literatur Serat Centhini (1814-1823) di Kesultanan Surakarta. 

Adipati Mengkunegara III (kemudian menjadi Pakubuwono V) adalah ketua penyusun yang menitahkan para pujangganya untuk melakukan inventarisasi kuliner, sandang, pangan, termasuk tumbuhan yang bisa dimanfaatkan untuk pengobatan.