Orang Belanda Juga Gemar Minum Jamu dan Meneliti Khasiat Kegunaannya

By Fikri Muhammad, Minggu, 19 April 2020 | 16:13 WIB
W.K. Tehupeiory dan keluarganya di Bangka sekitar 1915 (koleksi foto IISG, BG C 16/57) ()

Pada Serat Centhini disebutkan berbagai jenis tumbuhan obat yang bisa dipakai untuk mengobati beberapa jenis penyakit seperti panas dingin, meriang, cacingan, cacar, berkaitan syaraf, batuk, mata dan lainya.

Kemudian ada Serat Kawruh Bab Jampi-Jampi Jawi yang disusun atas perintah Pakubuwono V pada tahun 1831. Jamu merupakan akronim dari kata jampi (doa atau mantra penyembuhan menggunakan ramuan) dan usodo (kesehatan). 

Namun di sini, kata jampi lah yang disebutkan karena memang masyarakat saat itu melihat jamu bukan hanya dari aspek pengobatan melainkan aspek mistiknya juga.

"Jamu juga dilihat pada aspek mistik oleh masyarakat saat itu, berkaitan dengan mantra yang dipakai oleh para dukun untuk mengobati orang sakit yang datang ke mereka. Praktik ini membuktikan bahwa jamu berkaitan dengan aktivitas supranatural," ucap Fadly.

Sementara itu, Seorang Pamong Budaya Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Purnawan Andra mengucapkan bahwa memang tidak ada data yang jelas menyebutkan kapan pertama kali jamu digunakan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Namun, ia mengatakan bila artefak arkeologis berupa lumping, alu, dan pipisan pada masa Neolitikum disinyalir sebagai alat pembuat jamu pada masa itu.

Andra juga bertutur bahwa jamu juga ada sejak abad ke 8 dengan disebutkannya primbon di prasasti Candi Perot (772 Masehi), Haliwangbang (779 M), dan Kudadu (1216 M).

Juga pada masa kerajaan Hindu-Buddha dimana banyak relief yang menggambarkan pembuatan jamu seperti di Candi Borobudur, Prambanan, dan Candi Tegalwangi (Kediri).

Baca Juga: Cia Po, Jamu Asal Tionghoa yang Punya Banyak Khasiat Bagi tubuh

Berkembangnya masa jamu menjadi sebuah usaha produktif yang pertama kali dilakukan oleh keluarga Tjoeng Kwaw Suprana di Wonogiri pada tahun 1918 dengan merek legendaris, Djamoe Djago.

Keraton Surakarta Hadiningrat menetapkan Djamoe Djago pada 1937 sebagai jamu resmi istana. Andra menambahkan bahwa pada tahun 1948, kompleks Djamoe Djago dipindahkan ke Semarang supaya lokasinya lebih strategis.

Jamu Nyonya Meneer yang berawal di Surabaya juga menjadi perusahaan jamu yang memiliki kekuatan pasar. Terlebih saat mereka ekspansi ke Jakarta dan terbentuknya Komite Jamu Indonesia pada 1944.

Perhatian jamu kemudian menigkat paska kemerdekaan walaupun kondisi perekonomianya turun pada waktu itu

"Walaupun kondisi perekonomian menurun namun jamu mulai diperhatikan. Pada tahun 1966 ada konferensi jamu di Solo dan tahun 1978, para pakar jamu yang juga para apoteker, berkumpul dalam Himpunan Ahli Badan Alami Indonesia (HIPBOA)," ucap Andra pada National Geographic Indonesia (26/03/2020).

HIPBOA lalu berubah menjadi Perhimpunan Peneliti Bahan Alam (Perhipba). Pimpinanya ialah Sardjono Oerip Santoso, orang yang mengusulkan jamu sebagai salah satu mata kuliah pada tahun 1993.

Hingga pada akhirnya, yakni 27 Mei 2008, Hari Kebangkitan Jamu Indonesia diresmikan Presiden SBY di Istana Merdeka.