Orang Belanda Juga Gemar Minum Jamu dan Meneliti Khasiat Kegunaannya

By Fikri Muhammad, Minggu, 19 April 2020 | 16:13 WIB
W.K. Tehupeiory dan keluarganya di Bangka sekitar 1915 (koleksi foto IISG, BG C 16/57) ()

Nationalgeographic.co.id - Jamu umumnya melekat pada kalangan pribumi. Namun siapa sangka bahwa ternyata orang Belanda juga menggemarinya.

Orang-orang Belanda yang lama tinggal di Hindia Timur tertarik mengonsumsi dan menggunakan jamu untuk berbagai kebutuhan sejak zaman kolonialisme. 

Sejarawan Fadly Rahman mengungkapkan bahwasanya pada abad ke-17 seorang ilmuwan bernama Jacobus Bontius memanfaatkan jamu untuk mengobati Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, yang sedang sakit. 

Penyakit yang sering diderita orang Belanda di Hindia Timur kala itu memang jenis penyakit tropis yang banyak berkembang, seperti skorbut, asam lambung, mag, kolera, dan beri-beri. 

Pun alasan Bontius menggunakan jamu sebagai pengobatan karena sebelumnya sudah menaruh rasa penasaran saat melihat aktivitas pribumi megobati orang sakit dengan jamu menurut Fadly.

Baca Juga: Hoaks, Xenofobia, dan Rasialisme dalam Sejarah Pagebluk Indonesia

Lambat laun penggunaan jamu oleh orang Belanda tak terbatas pada konsumsi untuk kesehatan. Banyak di antara mereka melakukan penelitian medis pada tanaman jamu sejak abad ke-18. 

Seperti Botanis Belanda bernama Rumphius yang melakukan penelitian tanaman bermanfaat di Kepulauan Maluku yang dipublikasikan dalam buku Herbaria Amboinesis (1775).

Adapula Kloppenburg-Versteegh yang mengamati aktivitas konsumen dan jual-beli tanaman herbal di pasar-pasar. Serta aktivitas dukun dan bagaimana jamu berperan sebagai proses penyembuhan pada pasien-pasien mereka.

Perempuan Indo yang berprofesi sebagai botanis itu mencatatnya dalam beberapa buku seri, salah satunya adalah Indische Planten en Haar Geneeskracht (Tumbuhan-Tumbuhan Asli dan Khasiat Penyembuhanya).

Isinya memuat berbagai jenis tanaman obat penghasil jamu berikut petunjuk penggunaanya.

Mrs. Kloppenburg-Versteegh (koleksi foto KITLV 15369) ()

Menurut Fadly, alasan mengapa orang Belanda begitu menaruh perhatian besar terhadap jamu ialah karena penemuan obat medis berbahan kimia pada masa itu belum berkembang secara pesat. Ini membuat mereka mengandalkan tanaman herbal yang tumbuh di Hindia Timur.

Kemudian suplai obat medis dari Kerajaan Belanda ke tanah jajahan juga memerlukan waktu yang sangat lama, bahkan berbulan-bulan.

Kemasan obat pun belum moderen sehingga tak bisa bertahan pada jarak yang jauh karena kondisi obat mudah rusak.

Adanya penemuan medis tentang jamu menjadi bukti bahwa khasiatnya patut diberdayakan dan meresap pada berbagai budaya. 

"Ini yang memunculkan pandangan dari para ilmuwan bahwa jamu memilii khasiat medis yang patut diberdayakan. Tanaman di tanah koloni harus dibudidayakan secara serius dan transaksi jual beli perlu ditingkatkan. Ini yang menunjukan bahwa jamu pada masa kolonial bukan lagi ada pada tatanan kebudayaan lokal saja tapi juga sebuah penelitian ilmiah," ucap Fadly Rahman pada National Geographic Indonesia (26/03/2020).

Perkembangan penelitian ilmiah jamu juga teramu oleh Dokter Belanda seperti Dr.Boorsma, Dr C.L Van der Burg.

Ilmuwan moderen H.A van Hien kemudian membuat buku pada 1924 yang berjudul Javaansch Receptenboek (Buku Resep-Resep Pengobatan Jawa Kuno). 

Baca Juga: Geliat Rumah Jamu Marie Parakan Menjaga Warisan Jamu Nusantara

Untuk melihat sejarah jamu kita bisa mengamatinya pada relief-relief candi. Seperti di kaki candi (Karmawabhangga) Borobudur, terlihat relief tabib yang sedang mengobati pasien dengan menggunakan beberapa jenis jamu yang berasal dari tumbuhan seperti akar, batang, biji, daun.

Fadly Rahman yang juga seorang Dosen Prodi Ilmu Sejarah Unpad mengatakan bahwasanya masyarakat Jawa pada abad ke-8 secara organik memanfaatkan tumbuhan sekitar untuk pengobatan. 

Warisan pengetahuan herbal ini pun melompati abad-abad berikutnya. Yakni pada catatan literatur Serat Centhini (1814-1823) di Kesultanan Surakarta. 

Adipati Mengkunegara III (kemudian menjadi Pakubuwono V) adalah ketua penyusun yang menitahkan para pujangganya untuk melakukan inventarisasi kuliner, sandang, pangan, termasuk tumbuhan yang bisa dimanfaatkan untuk pengobatan.

Pada Serat Centhini disebutkan berbagai jenis tumbuhan obat yang bisa dipakai untuk mengobati beberapa jenis penyakit seperti panas dingin, meriang, cacingan, cacar, berkaitan syaraf, batuk, mata dan lainya.

Kemudian ada Serat Kawruh Bab Jampi-Jampi Jawi yang disusun atas perintah Pakubuwono V pada tahun 1831. Jamu merupakan akronim dari kata jampi (doa atau mantra penyembuhan menggunakan ramuan) dan usodo (kesehatan). 

Namun di sini, kata jampi lah yang disebutkan karena memang masyarakat saat itu melihat jamu bukan hanya dari aspek pengobatan melainkan aspek mistiknya juga.

"Jamu juga dilihat pada aspek mistik oleh masyarakat saat itu, berkaitan dengan mantra yang dipakai oleh para dukun untuk mengobati orang sakit yang datang ke mereka. Praktik ini membuktikan bahwa jamu berkaitan dengan aktivitas supranatural," ucap Fadly.

Sementara itu, Seorang Pamong Budaya Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Purnawan Andra mengucapkan bahwa memang tidak ada data yang jelas menyebutkan kapan pertama kali jamu digunakan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Namun, ia mengatakan bila artefak arkeologis berupa lumping, alu, dan pipisan pada masa Neolitikum disinyalir sebagai alat pembuat jamu pada masa itu.

Andra juga bertutur bahwa jamu juga ada sejak abad ke 8 dengan disebutkannya primbon di prasasti Candi Perot (772 Masehi), Haliwangbang (779 M), dan Kudadu (1216 M).

Juga pada masa kerajaan Hindu-Buddha dimana banyak relief yang menggambarkan pembuatan jamu seperti di Candi Borobudur, Prambanan, dan Candi Tegalwangi (Kediri).

Baca Juga: Cia Po, Jamu Asal Tionghoa yang Punya Banyak Khasiat Bagi tubuh

Berkembangnya masa jamu menjadi sebuah usaha produktif yang pertama kali dilakukan oleh keluarga Tjoeng Kwaw Suprana di Wonogiri pada tahun 1918 dengan merek legendaris, Djamoe Djago.

Keraton Surakarta Hadiningrat menetapkan Djamoe Djago pada 1937 sebagai jamu resmi istana. Andra menambahkan bahwa pada tahun 1948, kompleks Djamoe Djago dipindahkan ke Semarang supaya lokasinya lebih strategis.

Jamu Nyonya Meneer yang berawal di Surabaya juga menjadi perusahaan jamu yang memiliki kekuatan pasar. Terlebih saat mereka ekspansi ke Jakarta dan terbentuknya Komite Jamu Indonesia pada 1944.

Perhatian jamu kemudian menigkat paska kemerdekaan walaupun kondisi perekonomianya turun pada waktu itu

"Walaupun kondisi perekonomian menurun namun jamu mulai diperhatikan. Pada tahun 1966 ada konferensi jamu di Solo dan tahun 1978, para pakar jamu yang juga para apoteker, berkumpul dalam Himpunan Ahli Badan Alami Indonesia (HIPBOA)," ucap Andra pada National Geographic Indonesia (26/03/2020).

HIPBOA lalu berubah menjadi Perhimpunan Peneliti Bahan Alam (Perhipba). Pimpinanya ialah Sardjono Oerip Santoso, orang yang mengusulkan jamu sebagai salah satu mata kuliah pada tahun 1993.

Hingga pada akhirnya, yakni 27 Mei 2008, Hari Kebangkitan Jamu Indonesia diresmikan Presiden SBY di Istana Merdeka.