Renungan Hidup dari Jamu dan Perdebatan Persepsinya di Masyarakat

By Fikri Muhammad, Senin, 20 April 2020 | 12:52 WIB
Wanita di pasar. Foto diambil oleh fotografer terkenal Pasar Cephas di Yogyakarta sekitar tahun 1910. (koleksi foto KITLVH) ()

Nationalgeographic.co.id - Jamu merupakan local genius dan local wisdom Indonesia. Menurut Purnawan Andra, Pamong Budaya Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, jamu merupakan bukti bahwa manusia mengamati alam, memiliki ilmu pengetahuan, dan menggunakan manfaatnya.

Ia menambahkan, jamu memiki simbolisme terhadap berbagai "penyakit" kehidupan.

"Artinya ketika manusia hidup, sehat, dia niteni (mengamatialam. Tumbuhan mempunyai kemampuan zat-zat yang berguna yang bisa dimanfaatkan. Maka ketika kemudian manusia sakit, mereka meramu bahan-bahan tersebut, sehingga manusia menjadi sehat kembali," ucap Andra pada National Geographic Indonesia (26/03/2020).

Bahan-bahan jamu sebagai rempah sudah diperebutkan oleh bangsa Eropa sejak dahulu. Ini karena jamu merupakan ramuan lengkap yang memiliki nilai ekologis, konservasi alam, kesehatan, tradisi, dan industri. 

Baca Juga: Orang Belanda Juga Gemar Minum Jamu dan Meneliti Khasiat Kegunaannya

Jamu yang juga digemari orang Eropa pun memiliki ragam manfaat. Andra mengatakan manfaat itu antara lainya seperti kesehatan, kecantikan, dan bahkan balsam mumi. Tak jarang para peneliti Belanda melakukan penelitian akan khasiat-khasiat tertentu pada jamu. 

Misalnya jamu beras kencur yang memiliki rasa sedikit pedas hangat. Diartikan menjadi simbol kehidupan masa remaja. Sebab, pada masa ini manusia memiliki sifat egois. Rasa pedas adalah simbol dari kehidupan remaja yang baru mencicipi realita kehidupan. 

Lalu, jamu kunyit asam menggambarkan simbol asam manis kehidupan yang terasa pada saat bayi hingga pra-remaja.

Adalagi jamu Cabe Puyang yang melambangkan kehidupan manusia di usia 19-21 tahun yang mulai labil. Sesuai dengan rasa jamu yang pedas manis.

Jamu pahitan melambangkan fase kehidupan yang pahit namun harus tetap ditelan dan dijalani. 

Jamu kunci sirih/suruh merupakan simbol hidup setelah masa kepahitan. Kata diambil dari bumbu penyedap masakan bernama kunci dan daun sirih yang menandakan bahwa kehidupan akan menjadi lebih baik. 

Kemudian jamu kudu laos yang merupakan jamu penghangat. Jamu ini melambangkan kehidupan manusia yang harus menjadi penghangat dan pelindung bagi sesama atau orang sekelilingnya. 

Selain itu, jamu uyup-uyup atau gepyokan dengan sifat netralnya melambangkan bahwa manusia harus sepenuhnya menjadi pengabdi dan berpasrah tulus kepada Tuhannya.

Selanjutnya, jamu sinom atau sirep tanpa nampa yang dalam Bahasa Indonesia berarti diam (meninggal/tidur/moksa) tanpa meminta apa-apa. Rasa manis yang terkandung dalam jamu sinom ini melambangkan bahwa manusia dilahirkan dengan fitrah yang suci dan harus kembali pada sang Maha Pencipta dengan kondisi yang suci juga.

Setelah mengartikan nama jamu dan simbolisme kehidupan, Andra mengatakan bahwa ada beberapa pandangan soal jamu yang kurang tepat di masyarakat. Misalnya seperti jamu yang tidak dianggap higienis dan tak teruji secara klinis. 

Jamu juga diasumsikan sebagai hal yang kuno dan ndeso karena identik dengan jamu gendong dan ibu-ibu sepuh bersepeda onthel atau di pojokan pasar. 

Padahal, menurut Andra, jika diresapi, obat-obatan justru lebih bahaya karena unsur kimia yang pekat--meski teknis dan mekanisnya bisa dipertanggung jawabkan secara medis. Kesegaran dan keaslian jamu menjadi daya tawar positif yang bisa dipertahankan.

"Jamu lebih natural dan alami, diambil langsung dari tanah. Kesegaran, keaslian dan daya tanaman sumbernya masih terjaga. Berbeda dengan obat pabrik yang unsur kimiawi dan pengawetannya lebih mengemuka. Kemudahan mendapatkan bahan-bahan jamu juga menjadi pertimbangan positif tentang hal ini," ucap Andra.

ilustrasi jamu (Tribun Madura)

Sekarang, stigma jamu ialah sebagai pengobatan alternatif atau sekedar pengobatan herbal. Hal ini menurut Sejarawan Fadly Rahman adalah sebuah down grading dari jamu sebagai obat utama yang sudah digunakan sejak dahulu. 

Hal ini terjadi karena adanya perdebatan antara ilmu medis moderen dan tradisional pada abad ke-19.

Secara disiplin ilmu, obat kimia dipercaya memiliki efek panacea (obat mujarab) yang lebih baik, sementara jamu tidak memiliki hasil medis yang teruji.

Namun, hal tersebut ditentang oleh beberapa dokter yang meneliti khasiat jamu seperti C.L. van der Burg dan Botanis Kloppenburg-Versteegh. Mereka melihat bahwa jamu memiliki hasil medis yang teruji. Kontroversi hebat pada abad ke-19 itulah yang memunculkan sentimen terhadap obat-obat herbal atau jamu.  

"Ini sebuah dilema bahwa di satu sisi, ilmuwan, dokter, botanis melakukan penelitian jamu dan mempublikasikan karyanya tapi di sisi lain ilmu medis moderen yang berkembang pesat ini semakin menurunkan nilai atau cara pandang masyarakat terhadap jamu," ucap Fadly pada National Geographic Indonesia (26/02/2020).

Jamu menurut Fadly sudah menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia. Jamu ialah suatu kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kehidupan dan kesehatan mereka.

Jamu berasal dari kata jampi (doa/mantra/penyembuhan menggunakan ramuan) dan usodo (kesehatan). Kemudian menjadi jamu sebagai sebuah akronim. Masyarakat memanfaatkan hasil alam yang ada di sekitarnya seperti batang, daun, biji, buah, dan akar-akaran yang memiliki hasiat menyembuhkan atau panacea.  

Menurut asal-usulnya sebetulnya manusia memanfaatkan tumbuhan sebagau panacea karena melihat aktivitas hewan. Fadly yakin hewan-hewan itu menyantap sari bunga dan memamah rumput untuk self-healing terhadap diri mereka sendiri. 

Maka, manusia melakukan peniruan atau imitasi dari perilaku hewan. Ini juga yang membuat manusia pada abad lampau memiliki pengetahuan untuk memetakan taksonomi jenis-jenis tanaman yang ada di sekitar mereka. Hewan dipercaya memiliki naluri terhadap tanaman disekitarnya.

"Misalnya kita lihat aktivitas seperti tawon yang menyadap sari bunga, itu disaksikan oleh manusia. Ini yang jadi bagian atau perjalanan bagaimana tanaman-tanaman itu dijadikan sebagai herbal. Untuk memenuhi kebutuhan medis masyarakat," ucap Fadly.

Baca Juga: Hoaks, Xenofobia, dan Rasialisme dalam Sejarah Pagebluk Indonesia

Nampaknya pada era kontemporer keinginan untuk mengangkat martabat jamu kembali muncul. Orang sudah melirik kembali tanaman lokal yang dulu dimanfaatkan sebagai zat penyembuh seperti curcuma dan lainya. 

Adapun mengenal kembali tanaman herbal sangat penting. Fadly pun mencatat banyak sekali tokoh-tokoh peneliti tanaman herbal yang karyanya bisa kita baca. Salah satunya ialah Hembing Wijayakusuma.

Menurut Fadly, Hembing adalah tokoh yang sangat konsisten sepanjang hidupnya untuk melakukan penelitian tanaman bermanfaat. Ia mempublikasikan banyak karya soal efek samping dan takaran obat tanaman herbal. 

"Tayangan Hembing tahun 90an di televisi pada tiap pekan, merupakan salah satu upaya diseminasi pengetahuan tentang pentingnya untuk kembali lagi pada tanaman herbal," tutup Fadly Rahman