Saya kebetulan berjumpa Profesor Peter Brian Ramsay Carey di peron Stasiun Rawabuntu, Serpong. Kami sama-sama menanti kereta ke arah Tanahabang. Dia membuka tas punggungnya untuk mengambil sebuah buku mungil yang saat itu belum diluncurkan. “Ini buat Anda,” ujarnya.
Buku itu bertajuk Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX. Profesor Carey—guru besar pada Trinity College, Oxford—menulis bersama Vincent Houben, seorang guru besar sejarah di Humboldt University Berlin. “Sebelum Perang Jawa,” kata Peter, “perempuan memiliki peran penting di banyak bidang—dari perdagangan sampai politik.”
Saya bertanya, sejak kapan perempuan, khususnya Jawa, menjadi terbelakang kedudukannya? Peter mengutarakan beberapa perkara penyebabnya, salah satunya kolonialisme.
Karya mereka tampaknya telah membuat kaum perempuan di Indonesia memiliki landasan kuat sebagai bagian penting dalam evolusi negeri ini selama berabad-abad.
Baca Juga: Adakah yang Mampu Menyingkap Teka Teki Raden Ayu Kartini Ini?
Akhir Perang Jawa telah mengubah tatanan sosial di Jawa. Salah satunya, bagaimana tatanan baru kolonialisme memengaruhi sikap dan cara berpikir orang Jawa terhadap kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat.
Sampai pada akhirnya, kita mencatat sederet sosok perempuan berpikiran modern muncul pada akhir abad ke-19.
Raden Ayu Lasminingrat (1843-1948) yang kerap menerjemahkan buku-buku Belanda ke bahasa Sunda. Melalui karya-karya sastra yang disadurnya, Lasminingrat ingin masyarakat Indonesia mendapat pengetahuan laksana keluar dari kegelapan. Dia berjasa mendirikan Sakola Kautamaan Istri di Garut, Jawa Barat. Sejak 1879, dia telah mendidik anak-anak dengan berbagai bacaan bahasa Sunda—dari moral, agama, sampai sains.
Raden Ayu Kartini (1879-1904), perempuan Jawa yang memiliki minat pada literasi bangsanya. Dia hadir tidak sekadar sosok pejuang hak-hak perempuan, tetapi juga mendorong ekonomi kreatif rakyat Japara. Setelah menikah dengan Bupati Rembang, dia mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kediaman mereka.
Dewi Sartika (1884-1947) yang memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak perempuan di Tanah Pasundan. Ia kemudian mendirikan Sakola Istri, sekolah khusus perempuan pertama di Hindia Belanda.
Ema Poeradiredja (1902-1976) yang aktif sebagai anggota Jong Java dan Jong Islamieten Bond. Ia terlibat dalam Kongres Pemuda hingga akhirnya menjadi perempuan pertama yang duduk di Dewan Kota Bandung.
Baca Juga: Peter Carey Ungkap Kedudukan Perempuan di Era Kesultanan di Nusantara