Bagaimana Virus Corona Mengubah Budaya Ramadan Umat Muslim Dunia?

By Fikri Muhammad, Jumat, 24 April 2020 | 12:15 WIB
Lentera Ramadhan tradisional dipajang untuk dijual di sebuah kios menjelang Ramadhan di jalan Al Khayamia di Kairo, Mesir (Amr Abdallah)

Nationalgeographic.co.id - Tahun ini, umat muslim di seluruh dunia merayakan bulan suci Ramadan di bawah pembatasan ketat dan karantina wilayah karena wabah corona yang telah melumpuhkan seluruh negara.

Ramadan adalah bulan paling suci bagi umat Islam, di mana mereka berpuasa di siang hari, berkumpul untuk sholat dan berbagi makanan sebagai sebuah komunitas.

Namun banyak ritual dan tradisi Ramadan tahun ini akan dikurangi karena aturan jam malam yang ketat serta pembatasan fisik yang diberlakukan untuk membatasi penyakit COVID-19.

Selama bulan suci, umat Islam bangun pagi untuk sahur dan berbuka puasa setelah matahari terbenam dengan makanan yang disebut iftar atau buka puasa.

Berbuka puasa biasanya menjadi kegiatan bersama. Adalah hal yang lumrah bagi masjid untuk menjadi tuan rumah acara buka puasa besar, terutama bagi orang miskin.

Baca Juga: Ramadan Virtual di Kanada, Melaksanakan Ibadah Selama Covid-19

Akibat pandemi, banyak negara yang telah menyarankan warga untuk menghindari pertemuan besar, yakni sahur dan buka puasa bersama.

Dikutip dari Al-Jazeera, di Mesir, semua kegiatan Ramadan, termasuk buka puasa bersama, dilarang. 

Pasar Ramadan yang menjual makanan, minuman, dan pakaian di Malaysia, Brunei serta Singapura juga tidak diizinkan beroperasi.

Mesir telah melarang mendirikan meja iftar di sekitar masjid yang memberi makan orang miskin. (Amr Abdallah Dalsh)

Rozana Isa, kepala kelompok Sisters in Islam di Malaysia mengatakan bahwa hal ini akan berdampak besar pada ekonomi. Terutama pengusaha kecil dan ibu tunggal, yang sangat bergantung pada sumber pendapatan ini.

Sementara itu, konsumsi makanan yang biasanya meningkat di bulan Ramadan menimbulkan kepanikan pembeli akan persediaan di tengah pandemi.

Pedoman jaga jarak fisik juga akan meredam semangat Ramadan, kata Rozana kepada Al Jazeera.

"Kita harus berlatih menjaga jarak fisik, tidak saling menyapa dengan cara yang biasa kita lakukan yaitu dengan memeluk sesama Muslim atau berjabat tangan, ini pasti akan berdampak pada semangat banyak orang," ungkapnya.

Sholat Jumat di luar masjid Omar Binu Katab, sementara penyebaran COVID-19 berlanjut di distrik Hodan, Mogadishu, Somalia. (Feisal Omar)

Doa berjamaah telah dilarang di beberapa negara dan banyak masjid telah ditutup sementara

Jordan telah menangguhkan warganya untuk beribadah tarawih di masjid, mendesak mereka untuk melaksanakanya di rumah.

Ayatollah Ali Khamaeni di Iran juga menyerukan kepada masyarakatnya agar menghindari doa berjamaah. Begitu juga di Selangor, Malaysia yang menangguhkan aktivitias keagamaan di masjid sampai 31 Mei mendatang.

Di Arab Saudi, Raja salman telah memerintahkan untuk memendekan rakaat salat tarawih yang akan diadakan tanpa kehadiran publik pada dua masjid suci di Mekah dan Madinah.

Masjid-masjid di Inggris Raya dan di tempat lain juga akan menyiarkan khotbah secara langsung, juga pembacaan Al-Qur'an dan doa.

Para jamaah di berbagai belahan dunia dapat menghadiri ceramah agama melalui aplikasi konferensi video seperti Zoom, Facebook, dan YouTube.

"Bagi kami, konektivitas--apakah itu melalui kelas, pembacaan Al-Qur'an atau doa di masjid--kami akan mencobanya di rumah," ucap Aiasha Amir, Istruktur Islam asal Pakistan yang akan memberikan kuliah dari melalui Facebook selama Ramadan di halaman Al-Jazeera.

Baca Juga: Ramadan Virtual di Kanada, Melaksanakan Ibadah Selama Covid-19

Memberi amal dan zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Di Uni Emirat Arab (UEA), badan amal akan mengirimkan makanan buka puasa kepada orang miskin alih-alih melayani mereka di tenda atau masjid. Selama adanya jam malam nasional sejak 26 Maret.

Namun, di Arab Saudi, masjid Nabi Muhammad di Madinah tidak akan menyediakan makanan buka puasa tahun ini.

Untuk alasan keamanan, para ahli agama dan kesehatan telah menyarankan menggunakan metode online untuk menyumbang kepada LSM untuk membantu mereka yang terkena dampak wabah.

Pekerja upah harian menerima gandum gratis yang disumbangkan oleh pengusaha Afghanistan sebelum Ramadhan di Kabul, Afghanistan. (Rahmat Gul)

Perayaan Hari Raya Idul Fitri akan berbeda dari perayaan tahun sebelumnya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan orang-orang yang tinggal di kota agar tidak mengunjungi kampung halamanya selama bulan Ramadan.

Selain itu, Mufti Agung Saudi Arabia mengatakan bahwa jika wabah berlanjut maka solat Ied akan diadakan di rumah. 

Festival Idul Fitri menandai akhir Ramadan dan dirayakan sebagai hari libur resmi di negara-negara mayoritas Muslim.

Dengan tindakan penguncian di tempat dan pertemuan besar dilarang, perayaan tahun ini akan diperkecil.

Baca Juga: Mana yang Lebih Baik: Olahraga Sebelum Atau Setelah Berbuka Puasa?

Majelis Ulama Indonesia merekomendasikan agar orang yang tinggal dan bekerja di kota-kota lain harus menahan diri untuk tidak mengunjungi kampung halaman mereka untuk liburan.

Sementara itu, Mufti agung Saudia Arabia mengatakan bahwa jika wabah berlanjut, sholat Ied dapat dilakukan di rumah.

"Suka atau tidak suka, Idul Fitri tahun ini akan dibatasi. Perayaan Idul Fitri diselenggarakan dengan anggota keluarga kecil. Ini akan kurang menyenangkan bagi anak-anak, dan mereka akan ingat era ini untuk memberi tahu anak-anak mereka pada generasi mendatang," ucap Faizal.