DK Wardhani: Melindungi Lingkungan dengan Rumah Tangga Minim Sampah

By Fikri Muhammad, Sabtu, 25 April 2020 | 20:48 WIB
Dian Kusuma Wardhani ()

Nationalgeographic.co.id— Setiap April, kita merayakan dua hari penting. Hari Kartini dan Hari Bumi. Kartini identik dengan perempuan, sementara Bumi identik dengan lingkungan. Kita pun boleh beranggapan bahwa perempuan ibarat Bumi, yang melahirkan dan merawat segala kehidupan. Perempuan sering diidentikkan dengan kecantikan. Namun. saat ini pandangan terhadap kecantikan telah jauh berbeda dari sebelumnya. Kesadaran diri, kebebasan berekspresi, dan agen perubahan telah menjadi nilai kecantikan baru.Di Indonesia terdapat banyak perempuan yang secara sadar mengekspresikan suara mereka dalam aspek lingkungan. Mereka melakukan perubahan perilaku untuk lingkungan dengan cara mereka masing-masing.

National Geographic Indonesia dan Saya Pilih Bumi sepanjang tahun ini menggelar kampanye #PerempuanUntukPerubahan dan #BerbagiCerita. Gagasan baru ini dikemas dalam diskusi daring bertajuk "Inspirasi Perempuan untuk Perubahan Lingkungan" pada 25-26 April 2020. Sepanjang dua hari itu, enam perempuan akan bercerita tentang gagasan dan upayanya mewujudkan Bumi yang lebih baik.

Baca Juga: Ilmuwan Temukan Mikrob yang Bisa Mengurai Sampah Plastik, Seperti Apa?

Dini saat menjadi Pemateri kader lingkungan Kota Kediri (Dokumentasi DK Wardhani)

Jika semua orang menghasilkan sampah dan hanya kita sendiri yang berusaha mengurangi, apakah akan ada dampaknya? Inilah yang menjadi tema yang mendasari salah satu bincang daring ini.

Salah satu persoalan akbar di Bumi adalah sampah. Setiap hari, penduduk Indonesia menghasilkan 0,3 sampai 0,5 kilogram sampah per orang. Komposisi sampah organik 50-60 persen. Sedangkan sumber terbesar berasal dari rumah tangga yakni 45 persen menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sesi pembuka bincang daring itu bertajuk What Difference one Household Can Make. Gagasan itu disampaikan oleh Dian Kusuma Wardhani, atau yang akrab disapa Dini. Pemantik diskusi dalam sesi ini adalah Gita Laras Widyaningrum, jurnalis National Geographic Indonesia. 

Dini, usianya 41 tahun, merupakan seorang ibu yang mendampingi dua buah hatinya yang bersekolah di rumah (home schooling). Dia juga masih aktif sebagai penulis lepas dan berbagi di beberapa kelas asuhan. Selain kelas belajarzerowaste, dia juga mengasuh kelas Mengompos Itu Mudah. Dini dan keluarganya tinggal di Kota Malang, Jawa Timur.

Buku DK Wardhani yang bertajuk Menuju Rumah Minim Sampah. Awalnya, dia memulai biopori di rumah. Ia berpikir bagaimana caranya menularkan kehidupan cinta lingkungan, yang bermula ke anak dan suami. (DK Wardhani)

Sejak 2010, Dini telah banyak menulis buku anak seperti Jelajah Kota, Rambut Baru Apartemen, Sahabat Bumi, Manusia dan Alam, Hewan dan Bumi, Kota Kita, dan Muslim Cilik Sayangi Bumi.

Dini menjelaskan soal masa lalunya yang mempelajari Sustainable Development Goals (SDG) dan berada di bidang arsitektur. Namun, saat itu ia belum bisa menemukan korelasi antara sosial, ekonomi, dan lingkungan di kehidupannya.

Bagaimana tidak? Di kampus, ia melihat sendiri bahwa ilmu itu tidak diikuti dengan amalannya. Di kampusnya, ia banyak mendapat input tentang bagaimana permukiman yang diterapkan secara keberlanjutan. Dari pijakan inilah dia mengaplikasikanya mulai dari rumah.

Awalnya, Dini memulai biopori di rumah. Dia juga mendaftar menjadi anggota bank sampah. Ia berpikir bagaimana caranya menularkan kehidupan cinta lingkungan ini. Maka, ia pun berusaha menularkanya ke anak dan suami.

Baca Juga: Bank Sampah Kampung Koran Reduksi 35 Ton Sampah DKI Jakarta

National Geographic Indonesia dan Saya Pilih Bumi sepanjang tahun ini menggelar kampanye #PerempuanUntukPerubahan dan #BerbagiCerita. Gagasan baru ini dikemas dalam diskusi daring bertajuk (National Geographic Indonesia)

"Kecepatan tumbuhnya kesadaran, tidak pernah sebanding dengan laju kerusakan yang kita timbulkan," ujarnya.

Cara kita memperlakukan sisa konsumsi rumah kita sendiri pun banyak yang kurang tepat. Bahkan, setiap hari sampah yang kita buang dalam kondisi tercampur dan ditaruh di satu kantong plastik tanpa dipilah.

Kita menjalani era yang berbeda dengan para pendahulu kita. Sebagai konsumen kita menginginkan kehidupan yang serba mudah, praktis, dan tidak repot. Sementara sebagai produsen kita mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan tingkat usaha tertentu. Inilah yang memunculkan kebiasaan beli-pakai-buang, ungkap Dini.

Lalu, apa yang terjadi jika semua orang melakukan beli-pakai-buang? Berjuta-juta orang mengalami kenyamanan budaya instan ini. Sumber daya dieksploitasi. Konsumen yang melakukan abai tentang penggunaan sekali pakai (tanpa daur ulang) akan berbahaya bagi lingkungan.

Dini menambahkan bahwa dampak kebiasan tadi pastinya meghasilkan sampah yang berpengaruh pada  kesehatan, pencemaran air dan tanah, perubahan iklim, gangguan visual, masalah sosial, beban APBD, sampai kepunahan kehidupan.

Dini memulai eksperimenya. Pertama, dia bereksperimen cegah dalam skala rumah tangga. Artinya, dia mengusahakan tidak ada barang yang berpotensi menjadi sampah di rumah. Berbelanja tanpa kemasan, membuat pembersih alami, dan membuat kudapan yang diinginkan anak.

Kedua, eksperimen pilah dalam skala rumah tangga. Pilah sisa konsumsi sesuai kategori dan serahkan ke lembaga pengelola. Seperti menghimpun sampah minyak bekas yang ditampung dan dijadikan biodisel. 

Ketiga, eksperimen olah dalam skala rumah tangga. Yakni, upaya mengomposkan sisa konsumsi (sampah dapur), dan membuat ecobricks untuk mengamankan residu.

Dari ketiga ekperimen yang diujicobakan itu ia menemukan prinsip utama bahwa mencegah lebih utama daripada memilah dan mengolah. Karena kedua aktivitas terakhir itu sangat melelahkan. Inilah paradigma pengolahan sampah yang lebih baik menurut Dini.

Baca Juga: Studi: Kumbang Daun Berpotensi Lidungi Jutaan Orang Dari Hay Fever

 

DK Wardhani mengungkapkan bahwa mencegah timbulnya sampah lebih utama daripada memilah dan mengolahnya. Hindari sampah plastik sekali pakai dan gunakan kemasan isi ulang. Dia mengajak orang lain untuk menjadi agen perubahan lingkungan yang lebih baik dengan menulis buku. (DK Wardhani)

Lalu, ekperimen cegah-pilah-olah berlanjut pada kelas belajar zero waste sejak 2018. Hasilnya, kelas itu menunjukkan bahwa seorang Ibu adalah kunci perubahan di rumah. 

Salah satu yang bisa seorang ibu lakukan adalah penimbangan sampah. Mereka melakukan aktivitas itu sebelum dan setelah mengikuti kelas. Setelah kelas selesai pada 12 pertemuan, masing-masing peserta menimbang kembali sampah. Mereka menerapkan cegah-pilah-olah dengan komitmen. Hasilnya, hampir 30 persen peserta dapat mengurangi 70 persen kiriman ke TPA. Bahkan, sebanyak 13 persennya bisa mengurangi sampah hingga 80-90 persen.

Kemudian lahirlah inisiatif dan jejaring baru setelah kelas zero waste seperti Akademi Minim Sampah Malang, Pekanbaru Minim Sampah, Guritan Pacitan, Sobung Sarka, Komunitas Anak Cinta Bumi Jogja, dan lainya yang diiniasiasi para alumni kelas belajarzerowaste. Spirit edukasi sampahku tanggungku yang menjadi diusung kelas BZW, menyebar ke berbagai kota dan daerah di penjuru Indonesia.

Dini menyadari bahwa istilah 3R (Reduce, Refus, Recycle) dan 5R (Refuse, Reduce, Refus, Recycle, Rot) cukup sulit dicerna masyarakat awam. Sehingga ia pun menyederhanakan menjadi Cegah, Pilah, Olah. Terbukti istilah ini mudah diingat dan diterapkan.

Dini pun menerbitkan buku Menuju Rumah Minim Sampah. Ini adalah salah satu bentuk keterbatasanya akan membuka kelas yang banyak. Akhirnya, modul pelajaran itu ia buat dalam sebuah buku agar peserta dapat mengamati dan mengilhami eksperiman cegah-pilah-olah secara mandiri.

Apakah kita bisa belajar dan mengurus sampah sendiri ? Dini meyakini bahwa berjejaring adalah hal yang sangat penting. Ia yakin dari hal itu akan menularkan ide meminimalkan sampah sisa konsumsi yang kita gunakan. 

Minim sampah berarti menjadi realistis, demikian menurut Dini. Kita perlu melihat kondisi kultur lingkungan kita. Jujur dan mengaudit sampah diri sendiri adalah hal yang bisa dilakukan selama seminggu sekali, pesannya.

Majalah National Geographic Indonesia edisi Juli 2018, bertajuk Bumi atau Plastik, sebagai bingkisan untuk audiens dalam peluncuran buku Menuju Rumah Minim Sampah. (DK Wardhani)

Coba untuk tidak mengeluarkan sampah, lihat apa saja yang kita konsumsi setiap harinya. Dari situ kita bisa menetapkan tujuan pencapaian pribadi untuk memilah konsumsi kita.

Dini mengungkapkan bahwa mengajak orang terdekat tampaknya lebih sulit daripada mengajak orang yang jauh. Menurutnya, mulailah dari lingkaran yang bisa dipengaruhi terlebih dahulu.

"Saya memilih fokus mana yang saya bisa lakukan. Masing-masing kita punya lingkaran pengaruh. Lingkaran ini saya pilih yang mana bisa saya sentuh. Kalau yang ini belum bisa saya gamau mandek. Saya mulai dari share di grup ibu-ibu PKK tentang recycling. Kalau ada produknya kan mereka senang," ucap Dini.

Dini memiliki pengalaman berjejaring. Dari pengalaman inilah dia yakin bahwa sekecil apapun usaha yang dilakukan bersama-sama akan berpengaruh pada lingkungan yang lebih baik. Selain itu, peran perempuan sangatlah berpengaruh dalam peran hal ini.

"Bumi tidak membutuhkan perempuan yang sempurna tapi menghargai mereka yang mau berusaha," ungkap Dini sebagai pemungkas.

Gita menutup diskusi daring ini dengan epilog. Dia mengajak audiens untuk merenungkan pemaparan Dini tentang sampah rumah tangga. Sampah rumah tangga itu terbesar, ungkapnya. Porsinya mencapai 45 persen. Setiap orang bisa menyumbang 0,3 sampai 0,5 kilogram.

Dia mengajak audiens untuk membayangkan, berapa banyak sampah yang terkumpul di seluruh Indonesia. Artinya, penting sekali untuk memulainya dari diri sendiri dan dari rumah kita masing-masing.

"Mbak Dini memiliki caranya dengan cegah, pilah, olah," ungkap Gita. "Dia juga mengajak orang lain untuk menjadi agen perubahan dengan menulis buku kemudian berbagi ilmu melalui kelas belajar zero waste."

Selain menampilkan Dian Kusuma Wardhani, bincang daring itu juga mengajak lima perempuan inspiratif lainnya: Sisca Nirmala, Ranitya Nurlita, Maurilla Imron, Switenia Puspa Lestari, dan Eva Bachtiar. Simak seri profil dan gagasan mereka di laman National Geographic Indonesia.