Mengenal Sisi Lain Kartini Lewat 'Kotak Jahit' dan Surat-Surat yang Hilang

By Gita Laras Widyaningrum, Jumat, 24 April 2020 | 23:19 WIB
Raden Ajeng Kartini (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id – Setiap tanggal 21 April, kita memperingati hari kelahiran Raden Ajeng Kartini. Berbicara tentang Kartini, tidak lepas dari perannya sebagai tokoh yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Melalui surat-suratnya, kita tahu bahwa Kartini begitu peduli pada pendidikan—terutama agar perempuan bumiputera mendapatkan kesempatan yang setara.

Namun, selain di bidang pendidikan, banyak sisi lain Kartini yang belum dikenal masyarakat luas. National Geographic Indonesia, melalui Bincang Redaksi yang bertajuk Singkap Misteri Kotak Kartini dan Surat-surat yang Hilang mencoba mengungkap semangat dan wajah baru sang Raden Ayu yang nyaris terlewat.

Baca Juga: Kartini dan Kegembiraan yang Meluap Akan Pendidikan

Dalam acara yang diselenggarakan melalui aplikasi Zoom pada Selasa (21/4), Retna Dyah Radityawati, ahli arkeologi dan kurator di Museum RA Kartini Rembang, memaparkan bahwa di museum terdapat ruangan-ruangan yang digunakan Kartini semasa hidupnya. Selain untuk menulis, ada juga ruangan yang dipergunakan Kartini untuk membuat kerajinan tangan dan karya seni.

“Kartini sangat multitalenta, dia juga memiliki hobi membatik, menjahit, dan melukis,” ujar Retna.

Misteri “Kotak Jahit”

Salah satu koleksi menarik lainnya di Museum Kartini RA Rembang adalah sebuah kotak kayu dengan ukiran wayang. Awalnya, itu diduga merupakan kotak jahit pemberian adik Kartini. Namun, setelah diteliti lebih lanjut, ternyata kotak tersebut adalah kotak perhiasan yang dibuat sendiri oleh Kartini sebagai hadiah untuk calon menantu sahabatnya, Rosa Abendanon.

Daniel Tangkilisan, peneliti di Rumah Kartini—komunitas sosial yang mempelajari dan mengumpulkan arsip tentang sejarah dan seni Jepara—menjelaskan bahwa di tengah tutup kotak terdapat ukiran berdampingan dua aksara hanacaraka. Awalnya, ia mengira itu Ma Ra, tapi kemudian terlihat wulu di sudut kanan atas—yang hampir tidak terbaca karena di sekelilingnya penuh dengan ukuran. Dengan adanya wulu tersebut, maka tulisan tersebut pun dibaca Ma Ri.

Kotak kayu berhias tokoh pewayangan koleksi Museum R.A. Kartini di Rembang, Jawa Tengah, dan hamparan replika kain batik semasa Kartini karya Nur Rohmad. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Ini mengingatkan Daniel kepada Marie yang sering disebutkan dalam surat Kartini. “Ada surat-surat ke Rosa Abendanon,  sekitar tahun 1901-1902, yang menyatakan bahwa itu sejatinya adalah kotak yang dirancang sendiri oleh Kartini sebagai hadiah pernikahan Marie Fortuyn Grooglever dengan Geldolph Adriaan Abendanon, anak bungsu Rosa. Mbah Kartini menyatakan bahwa kotak ini merupakan kotak yang layak bagi sang ratu,” papar Daniel.

Misteri “kotak jahit” di Museum RA Kartini Rembang ini pun akhirnya terungkap berkat penelusuran Joost Cote, sejarawan di Monash University Melbourne, selama dua dasawarsa. Dalam Kartini The Complete Writing 1898-1904, Cote menyertakan surat-surat Kartini yang hilang dan tidak tercantum dalam buku populer Habis Gelap Terbitlah Terang karya Armijn Pane.

Surat-surat Kartini mengenai kotak perhiasan ini tidak disertakan dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang merupakan kumpulan tulisan Jacques Henri Abendanon, mungkin karena ia tidak ingin mengungkapkan sisi pribadi maupun keluarganya.

Surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuel Abendanon-Mandri pada 5 Maret 1902. J.H. Abendanon tidak memasukkan paragraf pertama ini dalam Door Duisternis tot Licht. (KONINKLIJK INSTITUUT VOOR TAAL-, LAND- EN VOLKENKUNDE)

Kartini pelopor seni kriya

Daniel mengatakan, kotak perhiasan tersebut menjelaskan sisi lain dari Kartini, yakni sebagai seorang perancang dan pebisnis. Meskipun tidak dijual dan diberikan sebagai hadiah, tapi dengan Kartini menawarkan kotak berukir wayang tersebut ke Abendanon, menurut Daniel, itu juga sebuah bentuk promosi.

“Lalu apa makna kotak itu? Lebih lanjut, ini menunjukkan peran Kartini sebagai pelopor pelestarian seni kriya dan industri kreatif Jepara,” ungkap Daniel.

Mengutip tulisan Susi Ernawati, perempuan yang kerap meneliti sejarah Jepara, Daniel memaparkan bahwa setelah masa kurungannya selesai, Kartini diajak ayahnya untuk mengunjungi lokasi bernama Blakang Goenoeng yang merupakan sentra ukir. Kartini kemudian memberikan perhatian besar kepada para pengrajin: membina, membuat desain, menunggu para pekerja hingga menyediakan pendopo untuk pameran.

Roekmini dan Kartini, dua dari delapan bersaudara. Mereka adalah buah hati dari R.M. Samingoen dan R.Ay. Ngasirah (garwa ampil). Kehidupan Kartini begitu singkat, namun pemikirannya jauh melampaui orang-orang semasanya. (KONINKLIJK INSTITUUT VOOR TAAL-, LAND- EN VOLKENKUNDE)

Pada 1898, bersama dengan adik-adiknya mengirimkan karya ke pameran Nationale Tentoonstelling voor Vrouernarbeid, di Belanda. “Mereka merupakan orang Hindia Belanda pertama yang mengikuti acara besar di Eropa,” ungkap Daniel.

Langkah ini pun akhirnya membuka jalan bagi karya-karya seni Jepara terkenal hingga ke Belanda. Hasil penjualan dari kerajinan Jepara tersebut bahkan bisa membantu mahasiswa-mahasiswa yang berada di negara Kincir Angin tersebut.

Kartini dan batik Lasem

Tidak hanya seni kriya, Kartini juga memiliki perhatian pada batik. Didiet Maulana, desainer dan pecinta wastra nusantara sekaligus co-founder Kesengsem Lasem, menjelaskan bahwa dalam salah satu suratnya ke Rosa Abendanon pada 1903, Kartini mengatakan sedang mencari sarung asli Lasem.

“Kartini diketahui sering memakai kebaya dan memadukannya bukan dengan kain, tapi dengan sarung. Salah satunya sarung Lasem,” ungkap Didiet.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kartini memiliki perhatian lebih dan mendukung  industri kreatif rakyat. Berangkat dari semangat Kartini tersebut, Didiet pun mencari tahu lebih banyak tentang batik Lasem dan para pengrajinnya yang kebanyakan kaum perempuan.

Ekawatiningsih (50) mulai banyak bereksperimen dengan motif tradisional batik Lasem dan kreasi sendiri ketika membuat batik tiga negeri Lasem. (Sigit Pamungkas)

Lasem, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Rembang, pernah menjadi pusat batik. Bahkan, di akhir abad ke-19, Lasem mengekspor produksinya ke Singapura, Myanmar, Malaysia, hingga Thailand.

Suami Kartini, yang merupakan Bupati Rembang, diketahui merupakan pemegang quality control terhadap batik Lasem. “Jadi, ketika membuat batik, yang melihat hasil akhirnya adalah suami beliau. Jadi ini satu gambaran yang sangat menarik tentang indahnya hubungan kolaborasi antara suami dan istri,” papar Didiet.

Baca Juga: Memahami Kepahlawanan Kartini Melalui Surat-suratnya

Dari era Kartini hingga sekarang, perkembangan batik Lasem mengalami pasang surut. Ia sempat mengalami masa kejayaan ketika naiknya permintaan terhadap Batik Tiga Negeri pada 1930-an. Kini, Kesengsem Lasem berusaha mendata para pengrajin batik dan melestarikan budaya ini.

“Di tengah pandemi, kami berusaha menyelamatkan para juragan batik. Juga membuka akses bagi para pembatik agar lebih dikenal di masyarakat,” kata Didiet. Di antaranya dengan mengembangkan situs Kesengsem Lasem sehingga bisa digunakan sebagai marketplace, kemudian membuat tur virtual berbayar tentang cara membuat batik serta menjelajahi museum Lasem. Hasilnya akan digunakan untuk membiayai kegiatan melestarikan batik Lasem.

“Dari pemikiran Kartini yang sudah sangat modern saat itu, istilahnya memiliki network yang sangat baik, itu merupakan satu inspirasi sehingga kami mencoba membantu dengan akses yang kami punya. Banyak semangat Kartini yang bisa diaplikasikan. Di Lasem sendiri, banyak pengarajin Batik perempuan yang memiliki integritas—menunjukkan bahwa mereka adalah Kartini-kartini modern,” pungkasnya.