Nationalgeographic.co.id - "Orang boleh pandai setinggi langit," tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca (1988), "tapi selama ia tak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."
Raden Ajeng Kartini pun seperti menjadi bukti atas pandangan Pramoedya tersebut. Namanya dikenang sebagai salah satu pejuang perempuan karena tulisannya.
Kartini, hanya dengan nama itu ia mau dipanggil, hanya seorang perempuan Jawa biasa, yang kebetulan dilahirkan di keluarga bangsawan.
Namun, gagasan yang dimiliki Kartini menjadikan sejarah mengenangnya sebagai sosok luar biasa. Gagasan dan pemikirannya itu pun terekam dengan baik dalam surat-suratnya.
Baca Juga: Kartini dan Kegembiraan yang Meluap Akan Pendidikan
Sebagai seorang putri dari Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Kartini memang beruntung bisa mengenyam pendidikan, meski masih dalam keterbatasan. Namun, pendidikan itu membuat dia mampu baca-tulis, bahkan dalam bahasa Belanda.
Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV dari Demak, juga dikenal sebagai bangsawan yang terbuka terhadap peradaban Barat. Sikap terbuka ini juga diwariskan ayah Kartini, yang menyebabkan Kartini muda dapat berinteraksi dengan beberapa orang Belanda.
Salah satu orang Belanda yang berpengaruh dalam hidup Kartini adalah Marie Ovink-Soer, istri dari seorang pegawai administrasi kolonial Hindia Belanda di Jawa Tengah.
Ovink-Soer menjadi sahabat Kartini untuk mencurahkan hati akan banyak hal, terutama kondisi perempuan yang dikekang adat dan tradisi. Berkat Ovink-Soer Kartini mengenal gerakan feminisme di Belanda sejak usia 20 tahun.
Ovink-Soer juga yang mengenalkan Kartini akan jurnal beraliran feminisme De Hollandshce Lelie. Di jurnal itulah perempuan kelahiran 21 April 1879 itu menulis keinginannya memiliki sahabat pena dari negeri Belanda.
Keinginannya itu bersambut. Pegawai pos bernama Estella Zeehandelar pun menanggapi dan mengirim surat kepada Kartini.
Korespondensi Kartini dengan Stella membuat pikirannya makin terbuka. Tulisan Kartini dalam suratnya pun menjadi rekaman pemikiran dan gagasan Kartini yang dianggap luar biasa.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR